GENDER DAN PERUBAHAN IKLIM : Mengedepankan Perempuan dalam Pengarusutamaan Dampak Perubahan Iklim

Oleh : Dr. Markum *)

Seminar tentang Pengarusutamaan Adaptasi Perubahan Iklim Berbasis Gender dalam Perencanaan Pembangunan Daerah di Provinsi NTB telah digelar di Bappeda Provinsi NTB, Selasa, 10 Maret 2020. Seminar ini dalam rangkaian internalisasi kepada para pihak, atas telah disyahkannya Rencana Aksi Daerah Adaptasi Perubahan Iklim (RAD API) di Provinsi NTB Tahun 2019-2023.

Tema yang diangkat tentu menarik, karena persoalan gender jarang sekali disentuh sebagai subyek pembangunan. Padahal realitas memang membuktikan bahwa perempuan termasuk sebagai pihak yang rentan menerima dampak perubahan iklim, khususnya perempuan di pedesaan.  Hasil studi tentang Gesi (Gender dan  Inklusi Sosial) di NTB oleh Markum dkk (2019) menunjukkan bahwa kegiatan-kegiatan yang terkait dengan sektor pertanian, sumber daya air, pesisir dan kelautan serta kesehatan, menempatkan perempuan sebagai penerima dampak signifikan akibat perubahan iklim.

Selain menekankan pentingnya mainstraiming gender dalam perubahan iklim, seminar juga mendiskusikan beberapa hal penting terkait dengan strategi tindak lanjut implementasi dokumen RAD API yang telah disyahkan oleh Gubernur. Disnilah muncul beberapa argumen-argumen menarik yang diturunkan dalam catatan singkat berikut.

  1. Dokumen RAD-API, Jadikan Dia Nyata

Dibalik semangat telah hadirnya RAD-API, juga sekaligus menimbulkan kekhawatiran, apakah dokumen tersebut bisa diimplementasikan dengan baik. Kekhawatiran tersebut didasari oleh lahirnya dokumen-dokomen serupa, katakanlah tentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Gas Rumah Kaca (RAD-GRK, 2012), sejauh ini belum ada informasi yang nyata bagaimana implementasi dari dokumen tersebut. Oleh karena itu dalam seminar pesan kuat yang disampaikan adalah, bagaiamana agar dokumen RAD-API menjadi nyata, setidaknya memiliki peran dalam melakukan monitoring dan evaluasi atas proses dan hasil dari implementasi adaptasi perubahan ikllim di NTB.

Tidak dipungkiri bahwa lahirnya dokumen di daerah, kental diwarnai adanya intstruksi dari atas (kementerian) yang memandatkan daerah untuk membuat dokumen ini dan itu.  Namun ketika dokumen sudah disyahkan, daerah sendiri gagap untuk menindaklanjuti dengan serius. Tidak pelak, maka asumsi bahwa dokumen disusun untuk memenuhi syarat administrasi saja, menjadi tidak bisa dinafikkan kebenarannya. Dua faktor menonjol yang disorot sebagai penyebabnya adalah faktor anggaran dan faktor kelembagaan.

  1. Faktor Anggaran, Klasik tapi Nyata

Ketersediaan anggaran menjadi faktor yang paling berpengaruh terhadap seberapa efektif sebuah perencanaan diimplementasikan.  Kelihatan sebuah alasan klasik, namun itu selalu nyata dihadapi, terutama terkait dengan perubahan iklim, yang dalam sistem administrasi penganggaran, menurut Dr.Perdinan, IPB, belum ada nomenklatur khusus di kementerian keuangan (budget marking). Sehingga dukungan operasional untuk perubahan iklim lebih banyak dana supporting hibah luar negeri. Menurut  Adi Abikusno (Sekretariat LCDI Bappenas), sistem penganggaran sekarang juga tidak memungkinkan perencana sekaligus sebagai pelaksana. Katakanlah Bappenas yang men-delivery kebijakan untuk perubahan iklim di daerah, tidak memungkinkan juga mendukung pendanaannya, karena persoalan anggaran menjadi domain kementerian keuangan.

Umumnya dalam  Peraturan Gubernur sebagaimana juga Pergub tentang RAD-API, tertera  bahwa dengan lahirnya Peraturan/Keputusan Gubernur, disediakan sumber anggaran dari APBN, APBD dan sumber lain yang tidak mengikat. Pernyataan tersebut pada kenyaataannya hanya bersifat normatif, karena dalam banyak kasus, lahirnya Pergub tidak serta merta disediakan anggaran dan tidak benar-benar serius untuk direncanakan penganggarannnya. Maka dalam diskusi diarahkan, jika memungkinkan perlunya mencermati ruang-ruang ketersediaan anggaran dari sumber lain terutama dari lembaga non pemerintah. Ruang yang memungkinkan untuk mengeksplorasi anggaran dari non pemerintah antara lain adalah NGO (Non Government Organisation) sebagaimana yang sudah dilakukan oleh Islamic Relief bekerjasama dengan Lembaga Konsepsi Mataram NTB.

  1. Pentingnya Kelembagaan

Faktor lain yang tidak kalah penting adalah peranan kelembagaan untuk pengawalan Rencana Aksi Daerah.  Kesadaran tentang pentingnya kelembagaan,  tertuang hampir pada setiap produk kebijakan, sebagaimana juga yang tercantum pada Pergub RAD-API, yaitu untuk mengawal pelaksanaan RAD-API berjalan dengan efektif,   di bentuk Tim Pokja (Kelompok Kerja). Tim Pokja berperan dalam mengkoordinasikan para pihak melakukan fungsi pengendalian (monitoring dan evaluasi) atas  implementasi RAD-API.  Pertanyaan krusial yang muncul dalam diskusi adalah, seberapa efektifkah peran kelembagaan yang ada selama ini ?

Jika kata pengawasan atau pengendalian diartikan dengan benar, maka yang harus dilakukan oleh Tim Pokja adalah bagaimana memastikan bahwa implementasi perencanaan dapat diukur hasilnya. Sehingga bisa disimpulkan berapa tingkat pencapaiannya, apakah sangat baik, baik, atau buruk. Oleh karena itu, Tim Pokja perlu memiliki kapasitas yang cukup tentang tugasnya, dan juga dilengkapi dengan instrumen (tools) bagaimana mengukur pencapaian tersebut.  Hasil dari proses monitoring dan evaluasi dirangkum dalam sebuah Policy Brief, sehingga bermanfaat bagi rujukan kebijakan dan sekaligus laporan kemajuan atas salah satu kinerja rencana daerah.

Mengingat dukungan amunisi anggaran yang kecil, maka peran koordinasi dan pengendalian Tim Pokja pada akhirnya hanya diartikan sebagai kegiatan pertemuan  dengan intensitas pertemuan sangat sedikit (1-2 setahun). Maka jangan berharap dengan kondisi tersebut, eksistensi Tim Pokja bisa memiliki power cukup untuk melakukan pengawalan dengan baik.

Lahirlah pemikiran dan usulan, bahwa kelembagaan untuk mengawal Rencana Aksi Daerah (RAD) sebagaimana RAD-API jangan hanya terjebak pada pemikiran normatif dengan mengandalkan Tim Pokja, tetapi juga mengakomodasi peran kelembagaan yang sudah ada sebagai sumber daya potensial untuk menjadi mitra. Selain peran NGO, beberapa lembaga seperti Forum DAS, Forum Sumber Daya Air, Forum Pengurangan Resiko Bencana, Jejaring Ahli Perubahan Iklim Indonesia (APIKI), dan lainnya, bisa menjadi supporting system dalam memperkuat kelembagaan RAD-API.

 

—-ooo—

 

Keterangan :

*) Penulis adalah Dosen Unram, Ketua FORDAS (Forum DAS) NTB dan Ketua APIKI (Ahli Perubahan Iklim Indonesia) NTB