Tantangan Kedaulatan Pangan di Gumi Gora

Oleh: Lalu Suryadi S. SP.MM.

Kasubbid Pangan dan Pertanian Bappeda NTB

Pangan menurut FAO (Food and Agricultural Organization) adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber daya hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia. Termasuk di dalam pengertian pangan adalah bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan-bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan dan minuman. Sedangkan Karsin (2004) mendefinisikan pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya.

 

Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam Deklarasi Roma (1996). Dengan pertimbangan tersebut di atas mendasari terbitnya UU No. 7/1996 tentang Pangan. Sebagai kebutuhan dasar dan salah satu hak asasi manusia, pangan mempunyai arti dan peran yang sangat strategis bagi kehidupan suatu bangsa. Jika kebutuhan pangan besar sementara ketersediaan lebih kecil dibandingkan kebutuhannya maka kondisi tersebut dapat menciptakan ketidak-stabilan ekonomi, sosial dan politik.

Ketahanan pangan (food security) merupakan salah satu isu paling strategis dalam pembangunan pertanian maupun pembangunan nasional, terlebih bagi negara berkembang seperti Indonesia yang berpenduduk besar. Disisi lain ketahanan pangan  juga merupakan fenomena yang sangat kompleks, yang mencakup banyak aspek dan faktor terkait dari berbagai segi. Kompleksnya permasalahan ketahanan pangan ini sangat penting untuk menjadi perhatian dalam penetapan kebijakan pembangunan karena ketahanan pangan bukan hanya urusan perut semata tapi juga dapat berpengaruh pada sector lain, bahkan dapat berdampak pada terganggunya pertahanan dan keamanan Negara, karena disamping sebagai komoditi ekonomi, ketahanan pangan merupakan komoditi yang memiliki fungsi lain yaitu sosial dan politik, baik regional, nasional maupun global.

Ancaman terhadap pertahanan keamanan akibat terganggunya ketahanan pangan dapat terjadi apabila kita tidak mampu menyediakan pangan bagi masyarakat secara mandiri sehingga mengharuskan kita untuk inport dari Negara lain. Apabila pemenuhan kebutuhan pangan dilakukan melalui inport dalam jumlah yang besar dan dalam jangka waktu yang lama serta berlangsung terus – menerus, maka kondisi ini menyebabkan pemenuhan kebutuhan pangan kita tergantung pada Negara lain. Kondisi ketergantungan ini tentu sangat berbahaya dari sisi hankam karena suatu saat jika kita menghadapi permasalahan diplomatik dengan Negara tersebut, mereka akan memberlakukan embargo berupa penghentian pengiriman pangan dari Negara tersebut yang tentunya dapat berdampak pada terjadinya krisis pangan di Negara kita. Dan jika terjadi krisis pangan maka semua aspek kehidupan juga akan menerima dampaknya seperti terjadinya penjarahan, perampokan, dan kriminalitas lainnya dalam rangka memenuhi kebutuhan akan pangan sehingga bila hal ini berlangsung lama akan mengganggu stabilitas nasional.

Disisi lain terbatasnya ketersediaan pangan juga dapat berdampak pada semakin menurunnya kwalitas SDM dan produktifitas masyarakat karena pangan yang terbatas akan berpengaruh langsung pada penurunan asupan gizi baik pada anak-anak maupun orang tua. Jika terjadi pada anak-anak, maka akan mengganggu tumbuh kembang anak sehingga menghasilkan generasi yang tidak bermutu di masa yang akan datang, dan bila terjadi pada orang dewasa maka akan menyebabkan kurangnya gairah dan semangat untuk bekerja, karena tidak tersedia energy yang cukup untuk beraktifitas bahkan bisa juga terjadi tidak mampu beraktifitas karena menderita sakit-sakitan.

Luasnya dampak yang dapat ditimbulkan akibat rapuhnya ketahanan pangan membuat kita harus lebih serius memikirkan berbagai strategi yang dapat lebih memperkuat ketahanan pangan kita baik di level daerah maupun di level Nasional. Strategi dan kebijakan yang digunakan harus mampu memberikan jawaban terhadap berbagai permasalahan ketahanan pangan daerah. Dan mengingat kompleksnya permasalahan yang ada maka upaya penanganannya juga tidak bisa dilakukan oleh salah satu sektor saja tapi harus dilakukan secara terpadu dan terintegrasi oleh berbagai sector yang terkait dengan ketahanan pangan. Karena sesungguhnya ketahanan pangan itu bukan hanya urusan produksi atau ketersediaannya semata, tetapi juga menyangkut distribusinya, pengolahannya, keanekaragamannya, maupun keamanan pangan yang didistribusi ke masyarakat.

Secara umum ketahanan pangan terdiri dari 4 aspek yaitu: ketersediaan, distribusi, konsumsi dan keamanan pangan.

  1. Ketersediaan

Ketersediaan pangan (food availabillity) yaitu ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup aman dan bergizi untuk semua orang baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ini diharapkan mampu mencukupi pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat (Hanani, 2012).

Ketersediaan pangan dapat ditentukan oleh beberapa hal yaitu produksi pangan diwilayah tersebut, perdagangan pangan melalui mekanisme pasar diwilayah tersebut, stok yang dimiliki oleh pedagang dan cadangan pemerintah serta bantuan pangan dari pemerintah atau organisasi lainnya (Suryana: 2001)

Subsistem ketersediaan pangan terdiri dari aspek produksi, cadangan, serta keseimbangan antara impor dan ekspor pangan. Pengelolaan ketersediaan pangan harus di atur sedemikian rupa sehingga walaupun produksi pangan bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah, tetapi volume pangan  yang tersedia bagi masyarakat harus tetap cukup dari sisi jumlah dan jenisnya serta selalu stabil ketersediaannya dari waktu ke waktu.

Ketersediaan pangan terbagi menjadi dua sisi, yaitu: sisi pasokan pangan dan sisi kebutuhan pangan penduduk.  Dari sisi pasokan, ketersediaan pangan berhubungan dengan kapasitas produksi dan perdagangan (impor/ekspor) pangan. Sumber pasokan pangan suatu negara atau wilayah sangat tergantung pada kapasitas produksi yang dimilikinya, ketersediaan pangan dapat bersumber dari produksi domestik, impor atau kombinasi produksi domestik dan import. Kemampuan kapasitas produksi pangan suatu daerah/wilayah merupakan fungsi gabungan serangkaian faktor yang terdiri dari: luas lahan, agroklimat, infrastruktur, dan teknologi yang digunakan untuk produksi pangan. Semakin besar kapasitas produksi pangan yang dimiliki suatu daerah, maka semakin kecil ketergantungannya pada sumber impor atau bahkan tidak bergantung sama sekali dari daerah lain atau Negara lain (Swasembada). Berdasarkan ketetapan Lembaga Pertanian dan Pangan Dunia (Food and Agriculture/FAO) 1984, suatu negara/wilayah dikatakan swasembada pangan jika produksinya mencapai 90% dari kebutuhan dari Negara atau wilayah tersebut. Kondisi ideal (swasembada) terjadi pada negara/ wilayah yang memiliki kapasitas produksi yang memadai untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduknya dan juga memiliki ketahanan pangan yang mantap. Akan tetapi sebuah negara/wilayah dengan kapasitas produksi pangan yang cukup, tidak secara otomatis juga memiliki ketahanan pangan yang mantap, karena bisa jadi negara/wilayah dimaksud  masih memiliki kelemahan pada aspek-aspek ketahanan pangan selain ketersediaan pangan, seperti distribusi maupun keamanan pangan.

Pada sisi kebutuhan pangan penduduk, ketersediaan pangan berhubungan dengan faktor jumlah penduduk dan pola konsumsi pangannya. Jumlah penduduk dan pola konsumsinya menentukan jumlah dan kualitas pangan yang dibutuhkan atau yang perlu disediakan. Jika jumlah penduduk bertambah, berarti jumlah pangan yang harus disediakan semakin banyak untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk tersebut. Sementara itu, dinamika faktor-faktor pendukung peningkatan kapasitas produksi pangan menunjukan kecenderungan yang terus menurun. Luas lahan cenderung menurun dari tahun ke tahun. Kondisi agroklimat cenderung ekstrim dan tidak bersahabat untuk upaya peningkatan produksi pangan yang dicirikan oleh peningkatan  suhu global. Demikian juga dengan masalah degradasi lahan yang cenderung semakin meluas sehingga mengancam penurunan produksi pangan. Infrastruktur pendukung produksi pangan juga menunjukan kecenderungan penurunan kualitas dan kuantitas seiring dengan meningkatnya alih fungsi lahan pertanian akibat peningkatan pertumbuhan penduduk dan urbanisasi yang berinflikasi pada peningkatan penyediaan sarana permukiman. Di sisi lain perkembangan teknologi produksi pangan belum mampu menghasilkan lonjakan produktivitas yang sesuai dengan lonjakan kebutuhan pangan akibat pertambahan jumlah penduduk. Dan yang lebih memprihatinkan lagi upaya peningkatan produksi pangan juga dihadapkan pada kecenderungan semakin berkurangnya jumlah petani karena regenerasi petani yang tidak berhasil, karena sangat jarang anak seorang petani yang tertarik untuk menjadi petani. Padahal yang kita harapkan adalah jika regenerasi petani berhasil, maka anak petani yang lebih mengenal pendidikan dan IT bisa menjadi petani milenial yang dapat mengembangkan pertanian modern dengan memanfaatkan teknologi  pertanian terkini untuk meningkatkan produksi pertanian dalam rangka menjaga stabilitas ketahanan pangan dan swasembada  pangan.

Dalam pelaksanaannya subsystem ketersediaan pangan ini dipastikan tidak akan mampu berjalan dengan baik jika hanya dikelola oleh satu atau dua unit kerja saja, karena subsystem ketersediaan ini mempunyai skup yang sangat luas, mulai dari produksi hingga menjamin ketersediaan dengan proses inport jika di dalam negeri atau didalam daerah tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan dari produksi sendiri, sehingga unit kerja yang harus terlibat dalam subsystem ini juga adalah unit kerja yang mempunyai tugas produksi sampai ke unit kerja yang bertanggungjawab terhadap proses inport. Dan mekanisme kerja yang harus dilakukan oleh setiap unit kerja ini haruslah terintegrasi dan saling bersinergi sehingga setiap langkah yang di ambil dalam rangka penyediaan pangan tidak bermuara pada terganggunya system ketersediaan pangan masyarakat.

  1. Distribusi

Distribusi pangan  dihajatkan untuk mewujudkan sistem distribusi yang efisien dan efektif untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu, dengan harga yang terjangkau. Bervariasinya kemampuan produksi pangan antar wilayah dan antar musim menuntut kecermatan kita dalam mengelola subsistem distribusi, sehingga pangan dapat tersedia sepanjang waktu di seluruh wilayah.

Subsistem distribusi pangan mencakup aspek aksesibilitas secara fisik dan ekonomi atas pangan secara merata. Subsistem ini bukan semata-mata menyangkut aspek fisik dalam arti pangan tersedia  di semua lokasi yang membutuhkan, tetapi juga masyarakat harus mampu mengakses pangan tersebut dengan mudah, murah, dan aman, serta ketersediaan pangan yang di distribusi tersebut dipastikan tidak terganggu ketersediaan kalori dan gizinya akibat pola distribusi yang tidak baik. Surplus pangan di tingkat wilayah belum sepenuhnya memberikan jaminan atas kecukupan pangan bagi setiap individu di masyarakat, bisa jadi kondisi yang surplus pangan pada suatu wilayah tidak mampu di akses oleh masyarakat karena masyarakat tidak memiliki kemampuan untuk membeli. Dalam kasus yang berbeda boleh jadi pada suatu wilayah terjadi surplus pangan, akan tetapi karena kondisi geografis yang sangat ekstrim menyebabkan masyarakat pada titik-titik tertentu yang terpencil dengan akses sulit tersebut tidak mampu menjangkau pangan yang berlimpah tersebut.  Untuk itu maka subsistem distribusi ini perlu dikelola secara optimal dan tidak bertentangan dengan mekanisme pasar terbuka agar tercapai efisiensi dan efektifitas dalam proses pemerataan akses pangan bagi seluruh penduduk termasuk yang tinggal di daerah terpencil sekalipun.

Berhasilnya subsistem distribusi pangan ini sangat ditentukan oleh kondisi prasarana dan sarana, serta kelembagaan dan regulasi terkait yang mengatur tentang distribusi pangan. Penguatan di subsistem distribusi ini berfungsi untuk mendukung subsystem produksi/ketersediaan dalam rangka menjamin pasokan pangan yang diproduksi tersebut dapat sampai ke masyarakat. Provinsi NTB adalah wilayah yang geografisnya sangat bervariasi sehingga kemampuan produksi antar wilayah dan antar musim sangat beragam, sehingga membutuhkan manajemen distribusi yang baik dan berpihak kepada seluruh lapisan masyarakat, agar stabilitas harga dan pasokan sepanjang waktu dapat terjaga di seluruh wilayah. Kondisi ini menuntut pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di NTB untuk dapat menciptakan regulasi dan kelembagaan yang mampu memastikan terciptanya kondisi dimana seluruh masyarakat memiliki akses terhadap pangan secara mudah dengan harga yang rasional dan terjangkau sepanjang waktu.

Distribusi komoditi pangan pokok tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada entitas bisnis dalam mekanisme pasar, karena tentu saja hak tersebut akan memicu kerawanan sosial dan berpotensi dimanfaatkan oleh spekulan tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat luas. Karena jika komoditi pangan pokok ini dimanfaatkan oleh tangan-tangan yang tidak bertanggungjawab untuk kepentingan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya maka hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya fluktuasi harga dan pasokan pada komoditi pangan pokok, yang dampaknya dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen terutama masyarakat kelas bawah yang hidup dibawah garis kemiskinan.

Dalam rangka melakukan intervensi kebijakan untuk menghindari terjadinya gangguan terhadap stabilitas harga dan pasokan pangan, maka perangkat hukum dan kelembagaan yang digunakan untuk melakukan intervensi kebijakan tersebut adalah Perum Bulog sebagai lembaga yang dapat menjamin bekerjanya subsistem distribusi secara optimal. Bulog disamping memiliki fungsi social menjaga stabilitas harga pangan, juga menjalankan fungsi komersial karena fungsinya sebagai Perusahaan BUMN memberikan ruang bagi Bulog untuk juga berorientasi pada profit. Disamping keberadaan Perum Bulog yang berfungsi sebagai lembaga stabilisator harga, di tingkat daerah juga harus didukung oleh berbagai unit kerja yang juga bertugas menjaga stabilitas harga terutama terhadap Sembilan bahan pokok (sembako). Beberapa unit kerja tersebut diantaranya Dinas Perdagangan yang salah satu tugasnya juga adalah mengawasi pelaksanaan distribusi pangan di tingkat daerah sehingga harga komoditi perdagangan terutama sembako tidak mengalami fluktuasi harga yang dapat mengganggu akses masyarakat terhadap pangan.

Untuk mengukur Indikator keberhasilan dalam distribusi pangan adalah pada saat pangan telah mencapai  ke konsumen, bahan pangan tersebut harus cukup secara kuantitas, aman bagi kesehatan, bergizi baik, sesuai selera konsumen, harganya terjangkau, dan tersedia sepanjang tahun. Dalam rangka mencapai target indikator tersebut, subsystem distribusi ini tentu tidaklah mungkin dapat dijalankan oleh satu unit kerja saja, untuk itu perlu integrasi dan kolaborasi dari berbagai unit kerja maupun stakeholder pendukung lainnya. Sebagai simulasi untuk dapat melakukan distribusi pangan sampai pelosok sudah pasti dibutuhkan alat transportasi dan sarana jalan yang kewenangannya di Dinas Perhubungan dan Dinas Pekerjaan Umum. Demikian juga dari sisi perdagangan pangan, maka yang berwenang untuk melakukan kontrol dan pengawasan adalah Dinas Perdagangan. Untuk itu dibutuhkan tim terpadu lintas sektor yang dapat menjalankan fungsi kolaborasi dalam rangka menjamin bahan bangan dapat terdistribusi secara merata dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat sampai titik yang sangat terpencil sekalipun.

  1. Konsumsi

Pola konsumsi pangan masyarakat yang cenderung mengalami perubahan membawa dampak yang besar terhadap sistem ketahanan pangan. Kebiasaan masyarakat kita yang cenderung sangat tergantung pada konsumsi beras menjadi bahan pangan pokok membuat angka konsumsi beras kita masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Negara lain. Data terakhir menunjukkan bahwa jumlah konsumsi beras Indonesia hampir dua kali lipat lebih besar dari beberapa negara tetangga seperti Singapura, Vietnam dan Malaysia, dimana tercatat, kebutuhan beras di Indonesia saat ini mencapai 114,6 kg per kapita per tahun. Hal ini lebih tinggi dari kebutuhan beras di Asia Tenggara yang hanya mencapai 70 kilogram (kg) per orang per tahun. Sehingga Kondisi inilah yang menyebabkan Indonesia harus mengimpor beras pada tahun 2017 sebanyak 2,25 juta ton untuk menutupi kekurangan stok dari produksi beras lokal Indonesia yang hanya mencapai 32,42 juta ton. Selain beras, Indonesia juga mulai tergantung dari komoditi pangan impor lain seperti daging, kecang kedelai, tepung terigu bahkan garam. Kondisi ketergantungan terhadap konsumsi beras juga terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Barat, hal ini terlihat angka konsumsi beras NTB yang lebih tinggi dari rata-rata nasional yaitu sebesar 118,1 Kg/Kap/tahun, sementara angka rata-rata konsumsi beras nasional adalah sebesar 111,58 Kg/Kap/tahun, dan tingkat konsumsi maksimal yang ideal adalah sebesar 100,3 Kg/Kap/tahun.

Subsistem konsumsi pangan menyangkut upaya advokasi dalam rangka peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman yang baik atas pangan, gizi dan kesehatan, sehingga dapat mengelola konsumsinya secara optimal. Konsumsi pangan hendaknya memperhatikan asupan pangan dan gizi yang cukup dan berimbang, sesuai dengan kebutuhan bagi pembentukan manusia yang sehat, kuat, cerdas dan produktif. Dalam subsistem konsumsi terdapat aspek penting lain yaitu aspek diversifikasi. Diversifikasi pangan merupakan suatu cara untuk memperoleh keragaman konsumsi zat gizi sekaligus mengurangi ketergantungan masyarakat atas satu jenis pangan pokok tertentu, yaitu beras.  Dari sisi ketersediaan ketergantungan yang tinggi pada satu jenis bahan pangan pokok dapat memicu instabilitas, karena apabila pasokan pangan tersebut terganggu tidak ada pilihan alternatif untuk substitusi atau pengganti jenis pangan tersebut, sedangkan dari sisi kesehatan mengkonsumsi pangan yang lebih beragam terutama non beras dapat berimplikasi positif bagi kesehatan karena lebih banyak mengandung zat-zat nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh.  Sebaliknya agar masyarakat menyukai pangan alternatif perlu peningkatan cita rasa, penampilan dan kepraktisan pengolahan pangan, agar dapat bersaing dengan produk-produk yang telah ada.

  1. Keamanan Pangan

Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Pangan yang aman, sehat, bermutu dan bergizi tinggi, sangat penting peranannya bagi pertumbuhan, pemeliharaan, dan peningkatan derajat kesehatan serta peningkatan kecerdasan masyarakat.

Sedangkan definisi keamanan pangan menurut Undang – Undang Republik Indonesia nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Ketentuan mengenai keamanan pangan meliputi sanitasi pangan, bahan tambahan pangan, rekayasa genetika dan iradiasi pangan, kemasan pangan, jaminan mutu, dan pemeriksaan laboratorium, dan pangan tercemar. Selain hal tersebut, di dalam peraturan yang sama juga disebutkan bahwa setiap orang dilarang mengedarkan pangan yang mengandung bahan beracun, berbahaya, yang dapat merugikan, atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia.

Salah satu jenis pangan yang sering di abaikan keamanan pangannya adalah pangan tradisional. Pangan tradisional adalah makanan dan minuman yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat tertentu, dengan cita rasa khas yang diterima oleh masyarakat setempat. Namun di sisi lain masih ada permasalahan mendasar keamanan pangan tradisional yang pada umumnya terletak pada kelemahan dalam hal jaminan keamanannya terhadap bahaya biologi atau mikrobiologi, kimia, dan fisik. Adanya bahaya atau cemaran tersebut seringkali ditemukan karena rendahnya mutu bahan baku, teknologi pengolahan, belum diterapkannnya praktek sanitasi dan higinitas yang memadai, dan kurangnya kesadaran pekerja maupun produsen yang menangani pangan tradisional (Dewanti-Hariyadi & Nuraida, 2001).

Mencermati kondisi dan realita yang terjadi sehari-hari terhadap peredaran pangan baik pangan segar maupun hasil olahan, kondisi permasalahan kemanan pangan kita secara garis besar dihadapkan pada permasalahan adanya cemaran pangan oleh mikroba, kimia, maupun bahan tambahan lainnya.

Terjadinya cemaran terhadap bahan pangan oleh mikroba sebagai akibat dari rendahnya kondisi hygiene dan sanitasi baik mulai dari proses produksi pangan sampai pada penyajiannya. Cemaran oleh mikroba ini bisa terjadi karena kurangnya kebersihan pada saat proses produksi, pengolahan maupun distribusi.

Cemaran bahan pangan oleh kimia pada umunya disebabkan oleh adanya bahan kimia yang dapat menimbulkan terjadinya intoksikasi. Bahan kimia penyebab keracunan seperti logam berat (timbal/Pb dan raksa/Hg) umumnya berasal dari cemaran industri, residu pestisida, hormon, dan antibiotika. Terbentuknya toksin akibat pertumbuhan dan perkembangan jamur atau kapang penghasil toksin juga termasuk dalam bahaya kimia.

Permasalahan cemaran bahan pangan oleh kimia dapat juga terjadi pada proses produksi atau budidaya. Pada proses produksi cemaran kimia dapat disebabkan oleh bahan kimia pupuk maupun obat-obatan untuk pengendalian hama penyakit tanaman yang tidak digunakan dengan arif karena diaplikasikan dalam jumlah yang melebihi ambang batas aman, karena penggunaan bahan kimia yang berlebihan pada proses produksi ini akan menyebabkan menumpuknya residu bahan kimia yang tidak dapat segera hilang sampai bahan pangan tersebut sampai ke konsumen.

Selain permasalahan kemanan pangan tersebut diatas, permasalahan yang paling banyak kita temukan sehari-hari adalah adanya penyalahgunaan bahan berbahaya pada saat proses pengolahan pangan dari bahan mentah menjadi bahan jadi. Pada proses ini produsen secara sengaja menambahkan bahan tertentu pada pangan sebagai bahan pengawet, bahan peningkat cita rasa maupun untuk alasan estetika atau mempercantik tampilan bahan pangan agar menarik konsumen untuk membeli. Untuk tujuan tersebut karena minimnya pengetahuan dan rendahnya kesadaran produsen akan keamanan pangan, biasanya bahan tambahan yang di aplikasikan adalah bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan, sehingga dapat berakibat fatal bagi kesehatan baik yang berdampak langsung maupun tidak langsung bagi kesehatan. Sebagai contoh penggunaan bahan pewarna tekstil memang terlihat menarik dari sisi tampilan tetapi jika di konsumsi akan sangat berbahaya bagi kesehatan karena bahan kimia tersebut tidak dirancang untuk di konsumsi. Pada kasus lain penambahan bahan kimia borax pada makanan dapat mengawetkan makanan dalam jangka waktu yang lebih lama, tetapi bahan ini sangat berbahaya bagi kesehatan karena dapat menyebabkan gangguan kesehatan bahkan juga bisa menyebabkan kematian.

Tantangan untuk mewujudkan ketahanan pangan dari waktu ke waktu semakin berat karena berbagai permasalahan dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan semakin complex karena kebutuhan akan pangan di masa-masa yang akan datang terus meningkat akibat semakin tingginya pertambahan jumlah penduduk, sementara jumlah pangan yang tersedia kecenderungannya terjadi penurunan yang disebabkan oleh berbagai kendala, permasalahan, dan tantangan sebagai berikut:

  1. Alih fungsi lahan

Salah satu cara untuk meningkatkan produksi pangan adalah dengan ekstensifikasi yaitu peningkatan produksi pertanian dengan perluasan areal pertanian yang biasanya ditempuh dengan perluasan areal sawah atau memanfaatkan lahan tidur yang selama ini dibiarkan terlantar tidak dimanfaatkan untuk budidaya pertanian. Namun upaya ini juga tidak bisa terus dilakukan karena luasan lahan yang ada memiliki batas maksimal sehingga ada masa dimana perluasan areal ini tidak mungkin lagi dilakukan karena lahan yang tersedia sudah dimanfaatkan semua sampai batas maksimal. Disisi lain lahan pertanian yang ada terus mengalami penyempitan yang disebabkan oleh terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi infrastruktur terutama untuk penyediaan perumahan.

  1. Regenerasi petani tidak berjalan baik.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian terus mengalami penurunan dari 39,22 juta pada 2013 menjadi 38,97 juta pada 2014. Dan jumlah tersebut turun kembali menjadi 37,75 juta pada 2015, dan menjadi 35,7 juta orang Tahun 2018.

Hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)  juga menunjukkan bahwa jumlah  petani  di Indonesia pada  2025 nanti hanya berkisar 6 juta orang, karena rata-rata penurunan setiap tahun mencapai 3 persen. Proses regenerasi petani kita tiap tahun terus menurun. Dari hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa dari 71 persen penduduk Indonesia yang bergantung pada sektor pertanian, hanya 3 persen saja anak petani yang mau meneruskan pekerjaan orangtuanya di sektor pertanian. Ancaman krisis regenerasi petani ini menyebabkan 61 persen petani di Indonesia usianya di atas 54 tahun. Kondisi ini jika berlangsung terus menerus akan mengancam kondisi ketahanan pangan di Indonesia. Petani yang ada sekarang semakin tua, sementara rata-rata anak petani tidak tertarik untuk melanjutkan pekerjaan orang tuanya sebagai petani lalu siapa yang akan memproduksi pangan kita.

Kondisi tersebut juga terjadi di Provinsi NTB, data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTB menunjukkan bahwa terdapat 33,48 persen penduduk NTB bekerja pada sektor pertanian dari jumlah penduduk sebanyak 5,07 juta jiwa berdasarkan Sakernas pada tahun 2018 (BPS NTB, 2019). Namun, yang menghawatirkan adalah tenaga kerja yang terserap itu sebagian besar tingkat  pendidikannya adalah SMP dan SD ke bawah. Data Badan Pusat Statistik NTB (2017) juga menunjukkan bahwa penduduk NTB yang berumur 15 tahun ke atas yang bekerja pada sektor pertanian pada tahun 2015 sebesar 39,01%, tahun 2016 sebesar 38,90%, dan tahun 2017 sebesar 33,48%. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan minat terutama pada generasi muda di NTB untuk bekerja di sektor pertanian dari tahun ke tahun.

Kurang berminatnya pemuda untuk bekerja di sektor pertanian disebabkan oleh banyak hal diantaranya adalah kepemilikan lahan orang tuanya yang terbatas sehingga tidak menguntungkan untuk dilanjutkan pengelolaannya sehingga si anak mencari alternative pekerjaan lain untuk melanjutkan kehidupannya, masih tingginya biaya untuk proses produksi pertanian terutama untuk pembelian sarana produksi pertanian menyurutkan niat si anak petani untuk melanjutkan pekerjaan orang tuanya karena membutuhkan modal awal yang cukup banyak sementara akses petani ke lembaga pembiayaan cukup sulit, dan kondisi kepastian hasil dari sector pertanian yang tidak stabil akibat kondisi iklim dan cuaca yang tidak menentu serta fluktuasi harga hasil pertanian yang cukup dinamis juga menjadi alasan dari ketidak tertarikan anak petani untuk melanjutkan pekerjaan orang tuanya.
Sementara diharapkan dengan regenerasi petani yang baik dengan didukung tingkat pendidikan yang lebih baik akan melahirkan petani milenial yang dapat mendorong peningkatan tata kelola sektor pertanian yang lebih modern dengan menerapkan teknologi pertanian terkini sehingga dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil pertanian.

  1. Terbatasnya kepemilikan lahan petani

Walaupun Provinsi NTB dalam beberapa tahun terakhir ini masih surplus padi atau swasembada padi, namun NTB masih di hadapkan pada permasalahan masih tingginya prosentase penduduk miskin yang berlatar belakang pertanian yang prosentasenya masih mendekati angka 50%. Masih banyaknya petani miskin ini mengindikasikan bahwa kebijakan pembangunan pertanian kita masih perlu dibenahi. Salah satu hal yang berkontribusi terhadap permasalahan tersebut adalah rata-rata kepemilikan lahan oleh petani di NTB masih sangat kecil yaitu berkisar  dibawah 0,5 hektar, sehingga kondisi ini tentu membuat petani tidak dapat berbuat banyak untuk meningkatkan kesejahteraannya, apalagi kalau jenis komoditi yang di budidayakan adalah komoditi yang nilai ekonominya rendah.

  1. Rendahnya daya beli masyarakat

Kemampuan membeli pangan sebuah rumah tangga pada sistem pasar adalah ditentukan oleh daya beli yang direfleksikan oleh tingkat pendapatan rumah tangga (Sen, 1978 dan Sen, 1980). Ketidakmampuan rumah tangga untuk membeli pangan dapat disebabkan oleh rendahnya pendapatan kepala rumah tangga dan bisa juga disebabkan oleh tingginya inflasi yang berdampak pada tingginya harga sembako sehingga tidak mampu dibeli oleh rumah tangga yang kondisi pendapatannya sudah sangat rendah. Kondisi ini juga menjadi ancaman ketahanan pangan pada suatu wilayah karena walaupun distribusi pangan sudah sampai ke pelosok-pelosok yang terpencil tetapi kemampuan daya beli masyarakat rendah maka tetap saja akses terhadap pangan juga masih bermasalah.

  1. Masih adanya daerah yang akses transportasi untuk distribusi pangan ke kawasan perdesaan belum baik.

Salah satu factor pendukung yang juga menentukan akses penduduk terhadap pangan adalah sarana dan prasarana transortasi. Jika akses jalan tidak baik ke suatu wilayah maka tentu pengangkutan bahan pangan ke kawasan tersebut tidak akan berjalan dengan baik sehingga factor ini menjadi salah satu penyebab kelangkaan bahan pangan pada suatu wilayah. Kondisi infrastruktur jalan ini juga sangat menentukan harga komoditi pangan pada suatu wilayah, karena kondisi jalan yang rusak akan menyebabkan naiknya biaya pengangkutan sehingga akan terhitung sebagai harga komoditi pangan tersebut sehingga menyebabkan naiknya harga pangan pada wilayah tersebut. Kondisi ini tentu juga dapat mengancam ketahanan pangan karena dengan terjadinya kenaikan harga akibat biaya transportasi yang mahal akan menyebabkan banyak masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak akan mampu membeli atau mengurangi volume pembelian sehingga berdampak pada terganggunya ketahanan pangan.

  1. Ancaman iklim dan cuaca yang tidak menentu

Kondisi iklim yang ekstrim di berbagai belahan dunia baru-baru ini secara langsung dan tidak langsung dapat mempengaruhi ketersediaan pangan. Kekeringan yang berkepanjangan, kebakaran hutan, banjir serta bencana alam lainnya di berbagai wilayah dunia terutama di sentra-sentra produksi pangan, sangat mempengaruhi ketersediaan pangan pokok seperti padi, gandum, dan tanaman bijian-bijian lainnya yang tentu saja berdampak pada ketersediaan produk pangan tersebut. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa produksi pangan sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca. Kondisi kekeringan yang berkepanjangan tentu saja akan sangat mengganggu produksi padi sebagai bahan pangan pokok sebagaian besar masyarakat Indonesia, karena padi adalah jenis komoditi tanaman yang membutuhkan air yang banyak sehingga bila terjadi kekeringan maka tentu tidak akan mungkin untuk melakukan budidaya padi sehingga secara langsung berdampak pada terancamnya ketahanan pangan kita. Demikian juga halnya bila cuaca ekstrem seperti hujan dan badai yang terus-menerus juga dapat menganggu ketahanan pangan, karena tanaman juga tidak akan dapat tumbuh dengan baik dalam kondisi air banjir yang tergenang dalam waktu yang lama, apalagi kalau airnya deras maka akan berdampak pada hanyutnya tanaman sehingga banyak tanaman yang gagal panen. Disamping pada proses produksi, kondisi cuaca yang ekstrim ini juga dapat mengganggu proses distribusi terutama yang transportasinya melalui jalur laut sehingga juga dapat mengancam ketahanan pangan.

  1. Adanya serangan hama

Salah satu ancaman yang juga dapat menyebabkan terganggunya produksi pertanian adalah adanya serangan hama. Pada kondisi budidaya pertanian yang mengalami serangan hama dengan intensitas yang kecil umumnya tidak menjadi persoalan yang berarti, tetapi apabila kondisi serangan hama yang intensitasnya sedang dan besar apalagi mencakup kawasan yang luas dapat menyebabkan terganggunya ketahanan pangan pada suatu wilayah, karena dapat menurunkan bahkan meniadakan produksi hasil pertanian sebagai sumber bahan pangan akibat terjadinya gagal panen.

  1. Degradasi lahan

Degradasi lahan adalah proses di mana kondisi lingkungan biofisik berubah akibat aktivitas manusia terhadap suatu lahan. Perubahan kondisi lingkungan tersebut cenderung merusak dan tidak diinginkan. Pada umumnya degradasi pada tanah ini disebabkan oleh 2 faktor yaitu faktor alami yang berasal dari alam dan faktor yang disebabkan oleh campur tangan manusia. Degradasi yang disebabkan oleh alam atau campur tangan manusia ini kini semakin sering dan semakin meningkat. Lahan pertanian yang subur kini banyak beralih fungsi menjadi lahan non pertanian.

Terjadinya degradasi lahan di Provinsi NTB sebagian besar lebih disebabkan oleh campur tangan manusia terutama sebagai akibat dari usaha budidaya pertanian yang kurang memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian lingkungan. Beberapa contoh budidaya yang menyebabkan degradasi lingkungan tersebut diantaranya: penggunaan lahan kawasan hutan dengan kemiringan sampai diatas 45º sebagai lahan pertanian, penggunaan pestisida dan pupuk kimia yang berlebihan, sistim perladangan berpindah, pembersihan lahan dengan pembakaran, dan banyak lagi yang lainnya sehingga berakibat pada terjadinya kerusakan lahan yang dapat berdampak pada penurunan produktifitas lahan sampai lahan tidak lagi dapat menghasilkan atau memproduksi hasil pertanian. Disamping itu pemanfaatan lahan dengan.

  1. Bencana alam

Peristiwa bencana alam tidak hanya berdampak pada jatuhnya korban jiwa, kerusakan infrastruktur tetapi juga sektor pertanian, perikanan, dan peternakan, bila penanggulangan bencana di sektor tersebut tidak dilakukan secara kuat terstruktur maka akan mengancam ketahanan pangan. Pada saat terjadinya peristiwa bencana alam maka permasalahan pertama yang muncul setelah kejadian bencana adalah bagaimana memenuhi kebutuhan pangan masyarakat pasca bencana, karena korban bencana umumnya tidak akan memiliki lagi cadangan pangan karena biasanya cadangan pangan habis rusak atau hilang saat kejadian bencana.

Disisi lain kejadian bencana mempengaruhi seluruh aspek ketahanan pangan mulai dari aspek ketersediaan, distribusi, konsumsi dan keamanan pangan. Pada aspek ketersediaan, akibat dari bencana alam yang terjadi menyebabkan kerusakan terhadap lahan dan sarana pertanian, sehingga tidak dapat melaksanakan proses budidaya. Jika tanaman sedang tumbuh kemudian terjadi bencana dapat menyebabkan kerusakan terhadap tanaman yang ada sehingga terjadi gagal panen ataupun gagal tanam. Pada aspek distribusi, kejadian bencana menyebabkan terjadinya kerusakan terhadap sarana dan prasarana perhubungan sehingga tentu sangat menyulitkan untuk melakukan distribusi bahan pangan ke seluruh pelosok daerah. Pada aspek konsumsi, kejadian bencana alam menyebabkan masyarakat tidak lagi memperhatikan jenis maupun kualitas pangan, bagi korban bencana umumnya yang penting adalah ada bahan pangan yang dapat dimakan sehingga pada aspek konsumsi pangan tidak lagi memperhatikan diversifikasi, pola konsumsi maupun hal-hal lain yang berkaitan dengan konsumsi pangan yang berkualitas, bahkan kadang-kadang pada situasi darurat bencana sering terabaikan juga yang berkaitan dengan keamanan pangan yang menyebabkan terjadinya keracunan makanan di masyarakat.

  1. Ketergantungan pada beras.

Ketergantungan masyarakat terhadap beras begitu tinggi, sehingga ketika jumlah produksi beras turun masyarakat menjadi kalang kabut dan bingung. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka diperlukan upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras dan bahan pangan impor lainnya dengan cara mencari alternatif bahan pangan lainnya. Disamping itu salah satu permasalahan kesehatan yang masih muncul di NTB saat ini adalah yang berkaitan dengan kekurangan gizi. Permasalahan gizi kurang ini juga merembet ke berbagai permasalahan lainnya diantaranya adanya kasus stunting, adanya kasus kematian bayi atau juga adanya kasus bayi BBLR dan berbagai permasalahan kesehatan lainnya akibat masih belum cukupnya asupan gizi masyarakat. Salah satu hal yang berkontribusi terhadap rendahnya gizi masyarakat adalah berkaitan dengan pola makan dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Umumnya masyarakat kita di NTB dihadapkan pada permasalahan pola makan yang tidak seimbang, dimana yang lebih banyak dikonsumsi adalah jenis makanan yang banyak mengandung karbohidrat dan kurang vitamin dan zat gizi lainnya. Hal ini terlihat dari pola makan sehari-hari yang lebih banyak mengkonsumsi beras dari jenis makanan lainnya, bahkan sudah menjadi kebiasaan jika belum mengkonsumsi beras belum disebut sebagai makan. Bahkan kondisi yang terjadi di NTB angka konsumsi beras NTB tahun 2019 berada pada angka 120,00 kg/kapita/tahun, melebihi angka konsumsi beras nasional yang sudah bisa berkurang pada kisaran 111,58 kg/kapita/ tahun, sehingga ini masih menjadi tugas kita bersama untuk bisa menurunkan angka konsumsi beras NTB bisa lebih rendah dari rata-rata nasional melalui upaya diversifikasi bahan pangan. Karena fakta menunjukkan bahwa sumber pangan pokok yang hanya bertumpu pada satu sumber karbohidrat yaitu beras akan melemahkan ketahanan pangan sekaligus menimbulkan kesulitan dalam pengadaannya. Oleh karena itu, perlu adanya ketahanan pangan untuk mendukung pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup dalam jumlah, gizi, mutu, serta terjangkau oleh daya beli masyarakat yang dapat dilakukan melalui diversifikasi pangan.

  1. Budaya dan kebiasaan masyarakat

Budaya dan kebiasaan masyarakat setempat yang terkait dengan pangan disatu sisi memang dapat membantu memperkuat ketahanan pangan kita karena adanya berbagai jenis dan ragam komoditi dan hasil olahannya yang membantu diversifikasi baha pangan melalui penganekaragaman pangan lokal. Namun di sisi lain, budaya dan kebiasaan masyarakat setempat ada juga yang justru sebaliknya menghambat peningkatan ketahanan pangan. Sebagai contoh kebiasaan masyarakat yang bertumpu pada satu jenis bahan pangan yaitu beras meningkatkan ketergantungan kita akan beras, dan dari sisi kesehatan hal tersebut juga kurang memberikan nilai tambah bagi kesehatan karena mengkonsumsi karbohidrat saja tanpa protein, vitamin dan unsur gizi lainnya tidak memberikan gizi yang cukup/seimbang bagi kebutuhan kesehatan, karena berdasarkan hasil kajian para ahli gizi dan kesehatan bahwa untuk hidup sehat setidaknya dibutuhkan 45 jenis bahan pangan yang harus dikonsumsi.

Disamping ketergantungan terhadap 1 jenis bahan pangan, kebiasaan lain yang juga dapat mengganggu ketahanan pangan karena berkaitan dengan aspek konsumsi dan keamanan pangan adalah berbagai perlakuan terhadap bahan pangan saat pengolahan, diantaranya kebiasaan masyarakat yang memasak bahan pangan terlalu lama, penambahan unsur-unsur tambahan dalam pangan yang menggangu nilai gizi, penambahan pewarna atau pengawet pangan, kurang memperhatikan aspek kebersihan pangan, serta tindakan lain yang dapat menghilangkan nilai gizi bahan pangan atau terjadinya cemaran bahan berbahaya dan mikroba.

Di zaman milenial ini tantangan ketahanan pangan juga semakin berat yang disebabkan oleh adanya kecenderungan masyarakat untuk mengkonsumsi makanan cepat saji yang merupakan bahan pangan inport. Kecenderungan ini disebabkan oleh banyak hal diantaranya adalah akibat keterbatasan waktu akibat dikejar urusan pekerjaan sehingga alternative makanan yang menjadi pilihan adalah yang mudah terjangkau dan cepat diperoleh. Disamping itu ada juga yang sekedar ikutan trend makanan inport atau menjadi gaya hidup mengikuti perkembangan zaman. Padahal dari sisi kesehatan, mengkonsumsi makanan jenis ini sesungguhnya tidak memenuhi standar hidup sehat karena tidak mengandung unsure gizi yang seimbang yang dibutuhkan oleh tubuh, sehingga mengganggu ketahanan pangan dari aspek konsumsi pangan dan kemanan pangan.

Salah satu hal yang juga menjadi budaya dan kebiasaan masyarakat petani tradisional adalah sistim pertanian yang secara turun temurun hanya membudidayakan 1 jenis komoditi. Dari aspek ketersediaan, kebiasaan ini dapat mengganggu ketahanan pangan jika terjadi gangguan hama dan penyakit tanaman, karena kebiasaan membudidayakan hanya 1 jenis komoditi atau yang disebut sebagai sistim budidaya monocultur sangat beresiko untuk gagal tanam atau gagal panen karena adanya gangguan OPT akan menyebabkan kerusakan tanaman secara total. Jika sistim budidayanya menggunakan polycultur atau multiple cropping, maka resiko gagal tanaman atau gagal panen dapat di minimalisir.

  1. Rendahnya pengetahuan gizi akibat rendahnya pendidikan

Masih rendahnya pendidikan masyarakat merupakan salah satu tantangan juga untuk mempertahankan ketahanan pangan karena pendidikan yang rendah menyebabkan lemahnya pemahaman masyarakat terhadap gizi yang seimbang. Dengan lemahnya pemahaman terhadap gizi maka hal tersebut berkontribusi langsung kepada hampir seluruh aspek ketahanan pangan terutama yang berkaitan dengan aspek konsumsi dan keamanan pangan. Pada aspek konsumsi rendahnya pendidikan berkontribusi pada kerusakan kandungan gizi saat pengolahan pangan, sementara pada aspek keamanan pangan rendahnya pendidikan berpengaruh pada pemilihan jenis pangan yang aman atau proses penanganan pangan saat penyajian sehingga tidak tercemar atau terkontaminasi oleh zat-zat yang dapat mengganggu kesehatan.

  1. Gejolak harga pangan

Terjadinya gejolak harga pangan dapat mengganggu stabilitas ketahanan pangan karena berkaitan erat dengan akses masyarakat terhadap ketersediaan pangan. Kenaikan harga pangan umumnya sangat terasa bagi masyarakat yang tingkat kesejahteraannya rendah. Langkah yang biasanya di ambil oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah ini untuk menyikapi kenaikan harga pangan adalah dengan mengurangi konsumsi atau melakukan subtitusi atau mengganti jenis pangan yang mengalami kenaikan harga tersebut dengan jenis pangan lain yang harganya lebih rendah dan terjangkau, namun biasanya jenis pangan yang harganya lebih rendah tersebut adalah yang kualitasnya pasti lebih rendah juga, sehingga sudah tentu hal tersebut berdampak langsung pada penurunan asupan gizi masyarakat baik dari sisi kualitas maupun kuantitas.

 

  1. Terbatasnya infrastruktur pendukung pertanian

Keterbatasan infrastruktur pendukung pertanian sangat mempengaruhi ketahanan pangan dari sisi aspek ketersediaan pangan. Untuk menjamin ketersediaan pangan harus dipastikan produksi pangan terjadi peningkatan yang significant mengikuti peningkatan pertumbuhan penduduk. Salah satu kendala dalam upaya peningkatan produksi pertanian untuk menjamin ketahanan pangan adalah masih belum optimalnya ketersediaan infrastrktur pendukung pertanian seperti: jaringan irigasi dan jalan usaha tani. Kondisi keterbatasan infrastruktur tersebut lebih diperparah lagi dengan terjadinya bencana di NTB sehingga banyak yang mengalami kerusakan. Upaya untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dihadapkan pada keterbatasan ketersediaan anggaran pemerintah, sehingga berbagai upaya lain harus juga dilakukan diantaranya melalui pemetaan prioritas pembangunan infrastruktur dengan mendahulukan kawasan-kawasan pusat produksi komoditi utama, atau dengan melakukan integrasi dengan sumber-sumber lain seperti APBN dan APBD Kabupaten/Kota, serta penggunaan teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas pemanfaatan sumber daya.

 

  1. Tingginya pertumbuhan penduduk

Jumlah penduduk NTB tahun 2018 sebanyak 5,07 juta jiwa, jumlah yang tidak sedikit tentu membutuhkan sumber bahan pangan yang tidak sedikit. Dari data produksi beras NTB yang berkisar antara 1.500 juta ton jumlah yang di konsumsi di dalam daerah adalah sebanyak 700 juta ton, artinya masih ada surplus sebanyak ± 50% dari kapasitas produksi yang ada. Namun kondisi ini dari sisi ketahanan pangan bukan merupakan suatu posisi yang aman karena pertumbuhan penduduk terus meningkat sementara kapasitas produksi pangan kita tentu tidak akan terus terjadi peningkatan karena ada batasan kapasitas lahan yang ada, ditambah dengan semakin menurunnya produktifitas lahan yang disebabkan oleh semakin tingginya aktifitas pemanfaatan lahan yang kurang memperhatikan keberlanjutan atau kelestarian sumber daya lahan.

 

  1. Kondisi Kamtibmas (adanya gejolak social).

Stabilitas Kamtibmas jika berlangsung dalam waktu yang lama, apalagi pada kawasan yang luas, akan sangat mengganggu ketahanan pangan. Karena berbagai aspek ketahanan pangan mendapatkan gangguan jika terjadi situasi kamtibmas yang tidak terkandali. Pada aspek ketersediaan sudah pasti masyarakat petani yang bertugas memproduksi bahan pangan tidak akan berani ke sawah untuk melaksanakan budidaya pertanian karena pertimbangan keamanan selama di lokasi budidaya. Begitu juga halnya dari aspek distribusi pasti akan mengalami gangguan karena distributor pangan yang notabene adalah pengusaha sudah pasti akan berhitung secara ekonomi untuk memasuki kawasan yang tidak aman karena dapat menyebabkan kerugian secara ekonomi karena berpeluang untuk di jarah atau gangguan lainnya. Berbagai kondisi tersebut pada akhirnya akan menyebabkan kelangkaan bahan pangan pada suatu wilayah, kalaupun ada dapat dipastikan harganya melambung tinggi sehingga akses masyarakat terhadap bahan pangan menjadi sulit dan menganggu stabilitas ketahanan pangan pada wilayah tersebut.

 

JIKA SETIAP ORANG DI GUMI NTB INI TIDAK PEDULI DENGAN ANCAMAN KERUSAKAN LINGKUNGAN DENGAN MENERAPKAN BUDIDAYA PERTANIAN YANG TIDAK RAMAH LINGKUNGAN MAKA SUATU SAAT AKAN TIBA MASANYA ALAM INI AKAN MEMBALASNYA DENGAN BENCANA YANG TERUS MENERUS DAN TIDAK ADA SATU JENGKALPUN DARI TANAH INI YANG BISA MENGHASILKAN BAHAN PANGAN UNTUK KEHIDUPAN KARENA YANG TERSISA HANYA BEBATUAN GERSANG YANG TIDAK SUDI DITUMBUHI TANAMAN”.