Perhutanan Sosial Diharapkan Bisa Kurangi Kemiskinan Lingkar Hutan

Kepala Bidang Perekonomian dan Sumber Daya Alam Iskandar Zulkarnain, M.Si menjadi narasumber dalam Rapat Koordinasi Percepatan Perhutanan Sosial Pasca Terbitnya Perpres Nomor 28 Tahun 2023. Bertempat di Golden Palace, kegiatan ini dihadiri langsung oleh Gubernur Nusa Tenggara Barat.

Membuka rapat, Rahmat Sabani, ketua dari kelompok kerja perhutanan sosial NTB sampaikan bahwa hingga tahun 2023, NTB ditargetkan mampu mencapai 285.000 hektar perhutanan sosial. Ini merupakan bagian dari target nasional yang tetah ditetapkan 7.800.000 hektar dalam perpres tersebut. “Pemberian akses legal ini bertujuan untuk mencapai kesejahteraan dan perlindungan hutan,” ujarnya.

Menurutnya dengan keluarnya Perpres no.28 tahun 2023 ini, menunjukkan terjadinya perubahan paradigma kebijakan di tingkat pusat. Oleh karena itu rapat koordinasi ini kemudian juga jadi hal penting yang bertujuan untuk menjawab tiga pertanyaan; 1)Bagaimana pengembangan alokasi lahan, 2)Integrated area development, dan 3)Kolaborasi dengan mitra. “Ini akan jadi role model ditengah ancaman bencana hidrometeorologi,” pungkasnya.

Selanjutnya, dalam paparannya, Iskandar sampaikan bahwa saat ini NTB sedang menyusun dokumen Pembangunan Rendah Karbon dan Berketahanan Iklim. Dokumen yang disusun sebagai pedoman daerah untuk mewujudkan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan, penurunan emisi karbon, serta peningkatan ketahanan terhadap dampak perubahan iklim.

Hal ini penting untuk mendukung pencapaian komitmen Indonesia pada perjanjian paris dalam Nationally Determinate Contribution (NDC). Dimana Pemerintah berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan internasional di tahun 2030.

Oleh karena itu paling tidak terdapat tiga kegiatan yang akan dilakukan dalam pembangunan rendah karbon, antara lain; 1) Rehabilitasi hutan dan lahan, 2) Pengembangan hutan energi, dan 3) Pengurangan penggunaan pupuk organik. Sementara itu untuk pembangunan berketahanan iklim, akan dilakukan, pengembangan mangrove dan pengelolaan air untuk pengairan.

Tidak hanya itu, NTB juga sudah banyak lahirkan kebijakan baik dalam regulasi maupun MOU terkait lingkungan. Salah satu yang terbaru adalah MOU dengan Bappenas RI untuk mencapai pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim.

Tidak lepas dari usaha untuk memastikan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan. NTB sudah membuktikan kebijakannya yang on the track. Berhasil menjadi provinsi dengan progress rata-rata ekonomi hijau tertinggi di Indonesia. Hal ini merupakan hasil studi indeks ekonomi hijau dalam rentang waktu 2015-2021 yang dirilis Bappenas.

Oleh karena itu, hadirnya perpres terkait percepatan realisasi dari perhutanan sosial, diharapkan mampu mendukung kebijakan-kebijakan on the track yang sudah dilakukan selama ini. Khususnya terkait situasi ekonomi NTB, menurutnya NTB pernah mencapai pertumbuhan ekonomi tertinggi seIndonesia. 6,9% pada September tahun 2022. Sayangnya, kontribusi terbesar masih dari pertambangan, sejumlah 82%. “Hal ini kurang menarik, karena akan habis. Sehingga pada RPD NTB tahun 2024-2026, kami targetkan pertumbuhan ekonomi bertransformasi tambang ke non tambang. Agar membawa manfaat yang lebih luas bagi NTB. Sehingga pemberdayaan masyarakat menjadi priotitas didalmnya, termasuk salah satunya melalui Perhutanan Sosial,” jelasnya.

Menutup paparannya, Iskandar sampaikan bahwa perhutanan sosial ini menjadi hal yang juga penting dalam upaya peningkatan kesejahteraan. Hal ini karena masih banyaknya warga miskin di kawasan lingkar hutan. Termasuk di dalamnya, miskin ekstrem yang ditargetkan mencapai 0% pada 2024 oleh Presiden Jokowi. “Oleh Karena itu munculnya peraturan Presiden ini sangat kami dukung, diharapkan bisa mendukung penghapusan kemiskinan ekstrem di lingkar hutan,” ujarnya. (Id)