Catatan Perjalanan NTB Menuju KIHT Kudus

Kepala  Bidang Perencanaan Perekonomian dan Sumber Daya Alam Iskandar Zulkarnaen S.Pt, M.Si, didampingi Sekretaris Bappeda NTB, Mahjulan, SP., MP memimpin rombongan “Study Banding Pengelolaan Kawasan Industri Hasil Tembakau di Kabupaten Kudus”. Diikuti oleh Pemerintah Daerah NTB baik Provinsi maupun Kabupaten Lombok Timur dan tokoh masyarakat Desa Paok Motong. Study banding ini. Kegiatan ini berlangsung selama tiga hari, sejak tanggal 14 hingga 16 November 2022.

Perjalanan ini dilaksanakan untuk melihat langsung dan mempelajari bagaimana proses pengelolaan pengolahan tembakau baik dalam bentuk IKM (Industri Kecil Menengah) rumahan maupun dalam KIHT (Kawasan Industri Hasil Tembakau). Hal ini menjadi penting, karena saat ini NTB sedang membangun KIHT di Desa Paok Motong Kabupaten Lombok Timur. “Sejak tahun 2021 melalui dana DBHCHT Provinsi telah dianggarkan pembangunan KIHT” Ujar Iskandar Zulkarnaen S.Pt, M.Si, Kepala  Bidang Perencanaan Perekonomian dan Sumber Daya Alam Bappeda NTB. Berdiri diatas lahan dari Kabupaten Lombok Timur seluas 1,3 Ha, pembangunan KIHT saat ini telah berlangsung 34% infrastruktur. “Oleh karena itu, pembangunan KIHT ini adalah bentuk kolaboratif antara Provinsi dengan Kabupaten” ujar Iskandar dalam perjalanan menjelaskan. “Sayangnya saat ini, pembangunan KIHT di Desa Paok Motong masih ditentang beberapa masyarakat sekitar. Bergulir isu jika pembangunan KIHT ini akan menyebabkan polusi baik udara, air, maupun suara” tandasnya menutup keterangan.

Sebelum menuju KIHT, bersama Dinas Tenaga Kerja, Perindustrian, Koperasi dan UKM Kabupaten Kudus, rombongan mengunjungi IKM Pabrik Rokok (PR) WIDO yang berada di Desa Singocandi, Kabupaten Kudus. Dengan pekerja berjumlah 51 orang dan jam kerja mulai jam 06.00 sampai dengan 17.00 WIB, proses pelintingan yang menggunakan system SKT (Sigaret Kretek Tangan). Setiap pekerja mampu menghasilkan 3000 batang dengan upah 55.000 perhari. Menghasilkan 15 rasa kretek, PR WIDO yang saat ini telah mendistribusikan produknya hingga keluar wilayah salah satunya Kalimantan, ternyata mengambil bahan bakunya dari luar Kudus, salah satunya Lombok selain Temanggung dan Madura.  IKM ini lebih banyak  memproduksi rokok jenis SKT dibandingkan dengan SKM (Sigaret Kretek Mesin), karena beberapa alasan, salah satunya adalah masalah pajak yang dikenakan lebih besar. Pemilik PR Wido mencontohkan, apabila harga sebungkus rokok dari pabrik Rp.10.700,00 pemerintah akan mengambil Rp.8.500,00. Jadi tersisa Rp.2.700,00 yang kembali ke pabrik untuk digunakan membeli tembakau, membayar pekerja, dan biaya operasional.

Selanjutnya perjalanan dilanjutkan menuju KIHT Kudus. KIHT ini merupakan satu dari dua KIHT pylot project yang ada di Indonesia, selain KIHT soppeng di Sulawesi Selatan. Kretek memiliki sejarah panjang di Kudus, walaupun tidak memiliki lahan pertanian tembakau, namun pengolahan berbagai rupa tembakau disini sangat massif. Diresmikan pada Oktober 2020, KIHT Kudus merupakan pengembangan dari lingkungan industri kecil industri hasil tembakau (LIK IHT) yang sudah ada sejak tahun 2009. Berdiri diatas tanah seluas 2,1 Ha di Desa Megawon, Kabupaten Kudus. KIHT ini terdiri dari 11 Gedung PR, 1 Laboratorium Pengujian dan NIkotin, 1 Gedung Pertemuan KIHT, 1 Pos hangar Bea Cukai, 1 Mushola, dan 1 Kantin.

Rombongan mengunjungi salah satunya, PR Rajan Nabadi. “Saya bersyukur sekali, diberikan kesempatan bergabung di KIHT ini, sehingga usaha saya yang terdampak PMK 200 tahun 2011 dulu, bisa tetap berjalan hingga saat ini” ujar Sutrishono pemilik PR Najan Abadi menyambut rombongan. Menteri Keuangan di tahun 2011 memang mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) RI No 200 yang mengatur tentang lahan industri rokok minimal 200meter persegi, kebijakan yang memukul banyak PR kecil gulung tikar.

Sutrishono menyampaikan, dengan menampung paling tidak 120 pekerja yang didominasi perempuan, PR nya mampu memproduksi 240 batang rokok perhari yang lebih banyak dikirim ke luar Pulau Jawa. “Sayangnya saat ini, Ketika pajak naik, rokok illegal malah makin merajalela” ujarnya. Ia berharap, walaupun cukai rokok akan naik 10% kedepan, “lapangan harus bersih dari rokok illegal”, ujarnya. Sementara itu untuk potensi limbah, karena saat ini PR nya hanya memproduksi rokok SKT, menurutnya tidak ada limbah yang dihasilkan. Jikapun ada gagang tembakau, bagian inipun masih laku untuk dijadikan bahan bakar bata merah. “Bahkan gagang tembakau Lombok, karena kualitasnya bagus, gagangnya pun turut dirajang” ujarnya.  Sutrishono memberi pesan kepada para petani tembakau Lombok, agar jangan menjual tembakau dalam bentuk lembaran, “Minimal sampai dirajang, karena kalau dijual daun, tidak akan punya uang gede” ungkapnya.

Setelah cukup melihat-lihat situasi PR Najan Abadi, kunjungan dilanjutkan dengan pertemuan bersama Kepala Dinas Tenaga Kerja, Perindustrian, Koperasi dan UKM kabupaten Kudus, Rini Kartika Hadi Ahmawati MM, Kepala Bidang Perindustrian Dinas Tenaga Kerja, Perindustrian, Koperasi, dan UKM Kabupaten Kudus, Drs. Adi Sumarno. Dan Kepala Seksi Layanan Informasi Bea Cukai Sandy Henratmo.  Bertempat di Gedung pertemuan KIHT (Kawasan Industri Hasil Tembakau) Kabupaten Kudus.

Dalam sambutannya, Mahjulan menyampaikan “Kami hadir ke Kudus untuk belajar, hebatnya Kudus, walaupun tidak memiliki lahan pertanian tembakau, namun geliat aktifitas pengolahan tembakaunya hidup sekali, ini menjadi pemicu bagi NTB yang memiliki banyak lahan tembakau” ujarnya menambahkan. Iskandar kemudian menambahkan setelah melihat situasi di KIHT Kudus secara langsung, tidak ada limbah yang ditemukan, karena proses. “Walaupun nanti menggunakan mesin dalam proses filter, asap yang dihasilkan akan disaring terlebih dahulu sebelum dilepas ke udara. ini adalah hal baik yang perlu kami teruskan pada rekan-rekan di Lombok Timur” ujarnya.

Rini menyambut baik niat kehadiran Pemerintah Daerah NTB. “Dengan luas 2,1 Ha, KIHT kudus terletak di tanah desa, oleh karena itu setiap tahun kami membayar sewa 50 juta pada desa” ujarnya.

Sandy yang turut hadir menyambut rombongan juga menyampaikan dengan adanya KIHT banyak manfaat yang dirasakan, seperti; ekonomi meningkat dan tidak ada limbah. “Justru saya hawatir, jika NTB buat KIHT, bisa jadi lebih besar, karena NTB memiliki  bahan baku” ujarnya.

Selanjutnya Ady memaparkan bahwa KIHT menyerap banyak tenaga kerja. Dengan memiliki 11 gedung PR dan jumlah 120 tenaga kerja di setiap PR, KIHT Kudus mampu menampung 1.320 tenaga kerja dengan upah Rp.40.000 per setengah hari yang didominasi perempuan.” Oleh karena itu penerimaan cukai dari KIHT ini terus meningkat dari tahun ke tahun” ujarnya.  Paling besar terjadi di tahun 2020 yaitu sebesar Rp.14.222.201.400,00. Menurutnya hal ini terjadi karena permintaan rokok meningkat, karena banyak orang dirumah saja selama pandemi.

Oleh karena itu menurut Adi, paling tidak terdapat lima manfaat keberadaan KIHT yang dirasakan oleh Kabupaten Kudus; 1) Merupakan wujud nyata Pemerintah Daerah dalam pembinaan dan pengembangan IKM rokok melalui pemberian fasilitas sarana dan prasarana. 2) Menampung dan menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran bagi masyarakat sekitar. 3) Memungkinkan para pengusaha rokok golongan kecil yang semula hanya memproduksi rokok (SKT) bisa memproduksi rokok (SKM) karena diperbolehkan untuk melakukan pelintingan bersama. 4) Membantu dalam penyediaan tempat untuk memproduksi rokok bagi pengusaha rokok golongan kecil yang tidak punya gedung produksi seluas ± 200 m², sehingga dapat berperan aktif dalam mencegah pembuatan dan peredaran rokok illegal. 5) Menumbuhkan industri kecil hasil tembakau dan IKM rokok yang pada akhirnya menggerakkan ekonomi masyarakat secara lebih luas lagi (multiplier effect).

Selanjutnya diskusi berjalan atraktif, Sekretaris Desa Paok Motong menyampaikan kersesahannya “Kami masih menghadapi beberapa masalah, potensi polusi dari industri, pengelolaan yang monopoli, dan lokasi KIHT yang di tengah pemukiman” ujarnya. Adi meresponnya, bahwa pada awalnya lokasi KIHT Kudus memang agak jauh dari pemukiman, namun sekarang seiring banyaknya kegiatan,  masyarakat malah mendekat. “Keberadaan KIHT membawa multyflyer effect, pasar tumpah juga penginapan mulai muncul, karena disini juga dibuka kesempatan magang” ujarny. Sementara itu terkait limbah, Adi menyampaikan tidak ada limbah dan polusi di KIHT, senada dengan Sutrishono, Adi menyampaikan bahkan sisa tembakau dan cengkeh akan diolah lagi untuk dijadikan rokok. “Sementara itu untuk limbah tar dan nikotin akan terserap di filter tab”, ujarnya.

Terkait pengelolaan, Adi menjelaskan diantara tiga bentuk badan hukum, KIHT Kudus memilih Koperasi sebagai bentuk badan hukum yang digunakan. Selain berorientasi meningkatkan kesejahteraan anggotanya, juga dalam perjalannya, koperasi dapat dipantau oleh Dinas Tenaga Kerja, Perindustrian, Koperasi dan UKM Kabupaten Kudus, selaku dinas yang bertanggungjawab terhadap pembangunan KIHT. Kedepan setelah pengadaan mesin terealisasi, koperasi akan bertugas mengoperasikan mesin filter maupun mesin pencetak kemasan. Sementara itu Dinas Tenaga Kerja, Perindustrian, Koperasi dan UKM kabupaten Kudus bertugas mengelola pengujian tar dan nikotin juga sewa gedung pertemuan yang saat ini sebesar Rp.7.500.000,00 per tahun.

Selanjutnya, menurut Adi, NTB perlu memastikan bahwa lokasi KIHT saat ini memang ada di dalam Kawasan Peruntukan Industri sesuai RTRW, dan berada di tempat dimana banyak pengusaha rokok illegal. “Para pengusaha ini yang harus dirangkul, karena tujuan utama dibentuknya KIHT adalah untuk memberantas rokok illegal” Ujarnya menutup pertemuan hari itu.