PEMBANGUNAN INFORMASI GEOSPASIAL: BERSAING DENGAN KETERBATASAN SDM DAN ANGGARAN

Informasi geospasial sesuai dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial mengamanatkan kepada Badan Informasi Geospasial (BIG) untuk memfasilitasi penyelenggaraan informasi geospasial agar dapat berjalan dengan lancar. Namun demikian, keberlangsungan penyelenggaraan Informasi Geospasial memerlukan dukungan dari berbagai pihak, yaitu Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat yang menjadi penyelenggara Informasi Geospasial. Keberlangsungan penyelenggaraan Informasi Geospasial sangat erat kaitannya dengan ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas, dan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan sosial (IPTEKS).

Provinsi NTB melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) telah merintis pembangunan informasi geospasial ini sejak tahun 1993, atau lebih dari 22 tahun yang lalu. Beruntungnya, seluruh hasil pekerjaan tersebut sejak tahun itu masih tersimpan dengan baik di Bappeda Provinsi NTB. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan semakin pesatnya pembangunan saat ini memaksa pemenuhan kebutuhan akan informasi geospasial semakin besar. Oleh karena itu Bappeda Provinsi NTB turut memanfaatkan perkembangan teknologi untuk memenuhi kebutuhan informasi geospasial ini yang semakin tinggi.

Namun dibalik itu juga dengan berkembangnya teknologi ini menuntut ketersediaan sumberdaya manusia yang menguasainya. Untuk meningkatkan kapasitas manusia di bidang pengolahan informasi geospasial ini, Bappeda Provinsi NTB juga telah menyusun beberapa modul pelatihan aplikasi pengolahan informasi geospasial. Sayangnya hingga saat ini belum banyak SDM yang tertarik untuk mempelajari informasi geospasial ini. Hal ini terlihat dari minimnya perguruan tinggi di NTB yang mengajarkan tentang informasi geospasial, dimana hanya ada 1 (satu) perguruan tinggi swasta, kalaupun ada itu juga hanya merupakan pilihan dan hampir tidak ada mahasiswa pula yang memilihnya. Beruntungnya NTB memiliki 1 (satu) sekolah kejuruan yang mengajarkan tentang ini, yaitu SMK Negeri 3 Mataram.

Mengapa ketersediaan SDM dibidang ini sangat penting? Hal ini disebabkan tuntutan kedepan dimana telah terbukanya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang apabila tidak diantisipasi maka jangan heran bila nanti para surveyor dan analis informasi geospasial di NTB bukan berasal dari daerah ini, atau bahkan bukan dari Indonesia melainkan dari negara tetangga di Asean.

Selain SDM, anggaran juga turut berperan sangat penting dalam penyelenggaraan informasi geospasial ini. Anggaran ini dapat diperoleh dari berbagai sumber, baik dari APBD, APBN maupun sumber lainnya. Beruntungnya, Bappeda memiliki akses yang kuat terhadap itu semua, walaupun yang tertulis di APBDnya tidak lebih dari 200 juta rupiah, dan tidak memiliki dana dekonsentrasi maupun tugas pembantuan, namun dapat menarik APBN di Pusat untuk menempatkan dan menghibahkan hardware bagi penyelenggaraan informasi geospasial di Provinsi NTB. Selain itu juga Bappeda mendapat bantuan serupa dari Australian Aid melalui AIPD dan bantuan software serta bimbingan teknis selama 2,5 tahun dari GIZ-Jerman melalui DeCGG.

Sejak tahun 2013, BIG menunjuk Universitas Gadjah Mada Yogyakarta untuk melakukan survey dan penilaian terhadap ketersediaan infrastruktur data spasial (Spatial-Data-Infrastructure Readiness Index / SRI). Pada tahun tersebut Provinsi NTB menempati posisi ke-2 tertinggi, dibawah Jawa Barat. Demikian pula hasil penilaian SRI untuk tahun 2014, Provinsi NTB masih menduduki ranking ke-2. Namun sayang pada tahun 2015 ini posisi NTB turun menjadi ranking ke-3 secara nasional dibawah Jawa Barat dan Kalimantan Timur. Walaupun mengecewakan karena posisi tersebut turun, namun konsistensi NTB dalam pengembangan informasi geospasial ini tidak perlu diragukan lagi.

Sebagai informasi, bahwa Provinsi Jawa Barat sudah sangat maju dalam mengembangkan informasi geospasialnya, bahkan dalam mengembangkan data dan informasi secara umum, dimana sudah ada dasarnya, yaitu Perda Jawa Barat Nomor 24 Tahun 2014 tentang Satu Data Pembangunan Jawa Barat. Selain itu Provinsi Kalimantan Timur sejak tahun 2014 sudah mulai melaksanakan penyelenggaraan informasi geospasial ini melalui peningkatan alokasi anggaran yang signifikan untuk melakukan foto udara di wilayahnya, sehingga diperoleh data dan informasi geospasial yang terbaru dan lengkap untuk wilayahnya.

Perjuangan pembangunan informasi geospasial di Provinsi NTB ini tidak lepas dari berbagai upaya yang telah dilakukan oleh Bappeda Provinsi NTB untuk mengembangkan data dan informasi geospasial. Ada beberapa masukan dari Provinsi NTB untuk BIG berkaitan dengan penyelenggaraan informasi geospasial di daerah, yaitu meminta BIG mengupayakan agar urusan penyelenggaraan informasi geospasial ini dapat dimasukkan ke dalam urusan Pemerintah Daerah di dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2014, bagaimanapun caranya, agar Pemerintah Daerah dapat mengalokasikan anggaran untuk urusan ini dan BIG sebagai Pembina penyelenggara informasi geospasial lebih mudah melaksanakan fungsinya.

Sebagai informasi akhir, dalam penilaian SRI atau Indeks Kesiapan Infrastruktur Data Spasial tersebut terdapat 5 (lima) kriteria yang dinilai meliputi kebijakan, kelembagaan, SDM, teknologi dan ketersediaan data. Adapun nilai dan ranking 10 besar Provinsi adalah sebagai berikut:

  1. Jawa Barat (82,00)
  2. Kalimantan Timur (79,00)
  3. Nusa Tenggara Barat (77,00)
  4. Jawa Timur (71,00)
  5. Sumatera Barat (68,18)
  6. Nanggroe Aceh Darussalam (64,50)
  7. Daerah Istimewa Yogyakarta (58,50)
  8. Sulawesi Tenggara (58,50)
  9. Kalimantan Selatan (57,25)
  10. Lampung (50,00)

Presentasi 3 Besar Provinsi Penyelenggara IG