Literasi NTB dan Café Literasi

Siang itu, tampak sebuah bus mini yang tidak biasa. Terparkir di ujung halaman kantor Bappeda NTB yang sedang mengadakan pameran Inovasi tingkat Provinsi. Diantara dua puluh stand perangkat daerah yang turut serta. Bus mini itu tampak berbeda. Tidak membutuhkan tenda untuk berteduh, bus dimodifikasi terbuka di semua sisi kecuali bagian depan. Bus ini jadi semacam etalase buku yang luwes bergerak kemana saja. Feling namanya, singkatan dari Café Literasi Keliling.

Inovasi yang di-Inisiasi oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi (DPKP) NTB. Feling merupakan sebuah terobosan untuk mendekatkan sumber bacaan pada masyarakat. Lahir di masa pandemi, di tengah situasi keuangan negara yang tidak baik. DPKP tidak terganggu dengan proses refocusing yang memangkas banyak anggaran kegiatan. Dengan fasilitas seadanya, dua puluh lima agustus menjadi tonggak awal. Feling diresmikan oleh Gubernur bersama kepala Perpusnas (Perpustakaan Nasional) di halaman kantor gubernur.  Jika dianalogikan dengan pesan Gusdur, Presiden keempat. Tampaknya DPKP menerapkan  “daripada mengutuk gelap, lebih baik menyalakan sebuah lilin”.

Selain membawa keliling buku dengan berbagai genre. Ilmu sosial, bahasa, murni, agama, terapan, karya umum, filsafat, buku anak-anak. Feling makin menarik, dengan dua ciri khasnya, yang tidak ditemukan di perpustakaan berjalan lainnya. Rak khusus untuk buku-buku bertemakan NTB dan suguhan minuman bagi para pembaca.  Berkeliling lima kali dalam satu minggu, senin hingga jumat, sejak pukul sembilan hingga dua belas siang. Feling memilih Kota Mataram sebagai pilot project di masa awal keberadaannya. Jika program ini berjalan baik, barulah Feling akan direplikasi ke kabupaten atau kota lainnya. Sayangnya, Feling hanya Waktu, dimana masyarakat sedang sibuk-sibuknya di kantor atau sekolah.

Berita baiknya. Feling dalam hajatan pameran Bappeda, mendapat peringkat kedua sebagai stand terbaik. Tampaknya Pemerintah Daerah minimal Bappeda, bersepakat pada pandangan, pentingnya literasi dalam mendukung pembangunan daerah. Walaupun sebenarnya, jika mengulik sedikit lebih dalam tentang literasi.  Buku baik cetak maupun digital, bukan satu-satunya alat literasi. Sebab, Literasi tidak hanya tentang kemampuan membaca, melainkan bagaimana memahami bacaan, dan memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan dalam dokumen Praha yang digagas PBB (Persatuan Bangsa-bangsa) tahun 2003 merumuskan empat tahapan literasi. Literasi dasar, kemampuan meneliti dengan menggunakan referensi (library literacy), kemampuan menggunakan media informasi (media literacy), dan kemampuan mengapresiasi grafis dan teks visual.

Jika melihat data secara nasional. Perpustakaan Kementerian Dalam Negeri (maret,2021) merilis, berdasarkan survei yang dilakukan Program for International Student Assesment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OEDC) tahun 2019, Indonesia menempati ranking 62 dari 70 negara yang dipilih secara acak terkait tingkat literasi. Menjadi 10 negara terbawah, menunjukkan rendahnya tingkat literasi di Indonesia. Hal ini kemudian menurut Syarif Bando Kepala Perpustakaan Nasional berdampak pada rendahnya daya saing, rendahnya indeks pembangunan sumber daya manusia, rendahnya inovasi, rendahnya income per kapita, dan rendahnya gizi.

Sementara itu di tingkat Provinsi, SMERU Research Institute pernah melakukan kajian tentang pendidikan di beberapa provinsi salah satunya NTB. Dimana pendidikan dan literasi berkaitan erat. SMERU menemukan, NTB merupakan salah satu provinsi yang menghadapi permasalahan rendahnya mutu pembelajaran, terutama di tingkat pendidikan dasar. Dalam hal literasi, USAID (2014) menyebut lebih dari 20% murid kelas dua memiliki hambatan membaca. ACDP (2014) menyebut hanya satu dari tiga murid kelas delapan yang mampu menjawab pertanyaan cerita pendek. Begitu pula dengan numerasi, ACDP (2014) menemukan, hanya satu dari empat murid kelas delapan dapat menjawab soal cerita matematika untuk mencari rasio. Temuan-temuan diatas menguatkan temuan SMERU (2009) yang menulis hanya sekitar 42% murid di sekolah lombok tengah yang mampu menjawab lebih dari 50% soal matematika. Di tahun itu, ini adalah hasil terendah dibandingkan dengan studi di kabupaten provinsi lain. Kondisi ini juga diamini oleh Kepala Dinas Pendidikan NTB, berdasarkan data dari Kemendikbud tahun 2019, pendidikan di NTB juara dua dari bawah diatas Papua.

Walaupun sebenarnya, literasi tidak hanya terkait dengan proses pendidikan di sekolah formal. Tapi minimal secara terlembaga, pendidikan formal adalah salah satu cara bagaimana melakukan gerakan literasi dan masif. Maka, jika kualitas literasi dikaitkan dengan kualitas pendidikan. SMERU kemudian menemukan sepuluh hal yang menyebabkan kualitas pendidikan di NTB. 1)Rendahnya kualitas guru, 2-5)Kurangnya jumlah guru PNS, pelatihan, komitmen guru,  anggaran dan infrastruktur 6)Rendahnya perhatian dan dukungan orang tua 7)Rendahnya minat belajar anak 8)kuatnya pengaruh kepentingan politik 9) ketidaktuntasan pembelajaran murid dan 10) lemahnya pengawasan. Dari sepuluh akar masalah, lima diantaranya terkait guru. Hal ini terjadi karena dua hal; ketidaksesuaian bidang ajar dengan latar belakang pendidikan guru, dan banyak  Guru Tidak Tetap dengan standar tidak jelas dan kadang-kadang sifatnya titipan. Nepotisme yang tidak kredibel, memang menyebalkan.

Selain pendidikan formal, indikator lain yang penting untuk dilihat. Sebagai basis data untuk mengetahui sebarapa baik kemampuan literasi dasar suatu daerah adalah kemampuan membaca. Dinas Pendidikan NTB  di dalam dokumen rencana strategisnya merilis persentase penduduk buta huruf menurut kelompok umur, sebagaimana gambar diatas. Grafik memperlihatkan, buta huruf pada perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini kemudian menjadi basis, bagaimana kecenderungan program pengentasan buta huruf lebih banyak diarahkan pada perempuan.

Banyak program, kebijakan maupun inovasi yang dilakukan daerah untuk memperbaiki kualitas pendidikan, baik dengan dukungan pemerintah pusat maupun memperoleh bantuan dari perusahaan setempat, Non Government Organisation dan komunitas lokal. Tidak berjalan berkelanjutan. Seperti; insentif guru terpencil, peningkatan kapasitas dan penambahan tenaga guru, pengembangan perpustakaan, penerbitan jurnal ilmiah, penuntasan kemampuan literasi dan numerasi, taman bacaan, pendampingan perpustakaan, majalah dinding sekolah, bantuan fasilitas sekolah inklusif, pendirian sekolah komunitas, beasiswa, pembebasan lahan.

Oleh karena itu, belajar dari situasi tersebut. Menjadi tugas penting dari pemerintah daerah. Bagaimana merawat inovasi-inovasi yang baik ini agar terus berjalan. Ditengah kondisi, sulitnya koordinasi lintas sektor. Dan pergantian pejabat yang begitu cepat. Brainstorming kesatuan tujuan, dan kolaborasi kemudian menjadi kunci penting demi menuju NTB yang lebih baik.

(Penulis: Maulida Illiyani)