Pada tanggal 7 September 2015 lalu Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia merilis data terbaru perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Satu hal yang berbeda dengan pers rilis tahun-tahun yang lalu adalah IPM tahun ini sudah menggunakan metode baru. Metode baru ini terletak di 2 indikator, yaitu Angka Melek Huruf (AMH) diganti dengan Ekspektasi Lama Sekolah (ELS), dan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita diganti dengan Produk Nasional Bruto (PNB) per kapita.
Ada beberapa hal yang menarik dari pergantian kedua kategori ini. Pertama, pengukuran IPM oleh UNDP ini sudah dirubah metodologinya sejak tahun 2010 yang kemudian direvisi kembali tahun 2011. Akibat perubahan ini beberapa negara di dunia telah memulai mengaplikasikan metode baru ini sejak tahu 2011, termasuk di beberapa negara tetangga Indonesia.
Kedua, berdasarkan data dan fakta AMH dibanyak tempat pergeserannya sangat kecil sekali. Hal ini disebabkan melek huruf tidak tidak dapat membedakan tingkat pendidikan antar daerah dengan baik. Disamping itu angka melek huruf di banyak daerah sudah tinggi, dengan kata lain jumlah yang buta huruf sudah sangat sedikit dan sebarannya sebagian besar pada penduduk berusia renta yang sangat sulit sekali untuk diajar membaca.
Ketiga, PDB perkapita yang digunakan dianggap tidak dapat menggambarkan pendapatan masyarakat pada suatu wilayah, sehingga tidak dapat membedakan dengan baik.
Keempat, penggunaan rumus rata-rata aritmatik dalam penghitungan IPM menggambarkan bahwa capaian yang rendah di satu dimensi dapat ditutupi oleh capaian tinggi dari dimensi lain.
Oleh karena itu UNDP memperkenalkan metode baru agar indikator yang digunakan dalam pengukuran IPM ini lebih tepat dan dapat membedakan dengan baik antar wilayah, serta agar capaian yang rendah pada salah satu komponen tidak dapat ditutupi oleh komponen lain yang capaiannya lebih tinggi.
Pertanyaan selanjutnya adalah apa dampak perubahan metodologi ini bagi nilai IPM suatu wilayah, termasuk Provinsi Nusa Tenggara Barat? Ternyata dampaknya sangat signifikan bagi NTB. Berdasarkan rilis data dari BPS tersebut, dengan menggunakan metode baru ternyata sejak tahun 2010 posisi NTB sudah berada di urutan ke-29 dari 33 Provinsi yang ada di Indonesia. Sayangnya sejak tahun 2013 turun kembali ke urutan 30 dari 34 provinsi di Indonesia, karena ada Provinsi baru, yaitu Kalimantan Utara yang langsung merangsek ke urutan 14. Hal ini wajar saja, karena provinsi induk (Kalimantan Timur) sejak tahun 2010 tersebut selalu berada di urutan ke-3 secara nasional.
Ada 4 provinsi yang berada di bawah NTB, yaitu Provinsi Papua, Papua Barat, Sulawesi Barat dan NTT. Bila dilihat angka dari Provinsi tetangga yang berada di bawah NTB sejak tahun 2010 hingga tahun 2014 selalu terpaut sekitar 2 poin dibawah NTB. Hal ini berarti untuk lebih dari 5 tahun kedepan sulit sekali (bahkan tidak ada) bagi provinsi-provinsi tersebut untuk melampaui nilai NTB. Sebagai gambaran, bahwa pada tahun 2010 selisih NTB dan provinsi di bawah (Sulawesi Barat) adalah sebesar 1,42, namun pada tahun 2014, selisih dengan provinsi dibawahnya (NTT) justru semakin besar, yaitu 2,08.
Hal yang menarik lainnya adalah perbedaan angka antara Provinsi NTB dengan provinsi di atas NTB. Paling tidak ada 3 provinsi yang selisih angkanya hanya kurang dari 1 poin, yaitu Provinsi Kalimantan Barat (terpaut 0,58), Gorontalo (terpaut 0,86) dan Maluku Utara (terpaut 0,87). Dan bila dilihat dari progres capaian nilai IPM ini, Provinsi NTB berhasil mereduksi dari terpaut 0,81 poin pada tahun 2010 menjadi 0,58 poin pada tahun 2014 selisih IPM dengan Provinsi Kalimantan Barat. begitu pula dengan Provinsi Gorontalo yang berhasil direduksi dari selisih 1,49 pada tahun 2010 menjadi 0,86 pada tahun 2014, dan Provinsi Maluku Utara yang berhasil direduksi dari terpaut 1,63 pada tahun 2010 menjadi tinggal 0,87 pada tahun 2014.
Bila dilihat pertumbuhan nilai IPM secara Nasional sejak tahun 2010 hingga 2014, Provinsi NTB mengalami peningkatan tertinggi se-Indonesia yaitu sebesar 3,15 poin, disusul Sulawesi Tengah sebesar 3,14 poin dan NTT sebesar 3,05 poin. Oleh karena itu, maka tidaklah mengherankan bila Provinsi NTB berhasil memperoleh penghargaan terbaik MDGs dalam upayanya mempercepat pembangunan.
Bila melihat dari semua angka-angka itu, maka kita optimis bahwa IPM Provinsi NTB dalam satu atau dua tahun ke depan dapat lebih meningkat lagi urutannya. Dukungan dari segenap lapisan masyarakat tentu sangat diharapkan agar kerja keras yang telah dilakukan Pemerintah selama ini dapat lebih memberikan hasil yang dirasakan oleh masyarakat NTB sendiri.