BERQURBAN DAN PENSYARIATANNYA

 

Hukum Kurban

Kurban merupakan salah satu sembelihan yang disyariatkan sebagai ibadah dan amalan mendekatkan diri kepada Allah. Hal inilah yang dinyatakan Ibnul Qayyim dalam pernyataannya : “Sembelihan-sembelihan yang menjadi amalan mendekatkan diri kepada Allah dan ibadah adalah Al-Hadyu, Al-Adhhiyah (Kurban) dan Al-Aqiqah”[1]. Disyariatkannya kurban sudah merupakan ijma yang disepakati kaum muslimin[2]. Namun tentang hukumnya masih diperselisihkan para ulama, yang terbagi dalam beberapa pendapat.

Pertama : Wajib Bagi Yang Mampu Demikian ini pendapat Abu Hanifah dan Malik. Madzhab inipun dinukil dari Rabi’ah Al-Ra’yi, Al-Auza’i, Al-Laits bin Sa’ad[3] dan salah satu riwayat dari Ahmad bin Hanbal[4]. Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Taimiyah[5]. Dan Syaikh Ibnu Utsaimin berkata : “Pendapat yang mewajibkan bagi orang yang mampu adalah kuat, karena banyaknya dalil yang menujukkan perhatian dan kepedulian Allah padanya”[6]

Kedua : Sunnah Atau Sunnah Muakkad Bagi Yang Mampu Inilah pendapat jumhur ulama[7]. Al-Hafizh Ibnu Hajar menukil pernyataan Ibnu Hazm yang mengatakan : “Tidak shahih dari seorangpun dari para sahabat yang menyatakan wajibnya. Yang benar, menurut jumhur, kurban itu tidak wajib. Dan tidak ada peselisihan, jika ia merupakan salah satu syi’ar agama”[8]

Ketiga : Fardhu Kifayah Ini merupakan satu pendapat dalam madzhab Syafi’i

Dalil Pendapat Pertama 1. Hadits Al-Bara bin Azib, beiau berkata : ذَبَحَ أَبُو بُرْدَةَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْدِلْهَا قَالَ لَيْسَ عِنْدِي إِلاَّ جَذَ عَةٌ قَالَ اجْعَلْهَا مَكَانَهَا وَلَنْ تَجْزِيَ عَنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ “Abu Burdah telah menyembelih kurban sebelum shalat (Ied), lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya : “Gantilah”, ia menjawab, “Saya tidak punya kecuali Jaz’ah”. Maka beliau berkata : “Jadikanlah ia sebagai penggantinya, dan hal itu tidak berlaku pada seorangpun setelahmu” [Muttafaq Alaih] Orang yang mewajibkan berhujjah dengan hadits ini. Mereka menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abu Burdah untuk mengulangi penyembelihannya jika telah melakukannya sebelum shalat. Tentunya, hal seperti ini tidak dikatakan, kecuali dalam perkara yang wajib saja. 2. Hadits Jundab bin Abdillah bin Sufyan Al-Bajali, beliau berkata : قَالَ صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يَوْمَ النَّحْرِ ثُمَّ خَطَبَ ثُمَّ ذَبَحَ فَقَالَ مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيَذْبَحْ أُخْرَى مَكَانَهَا وَمَنْ لَمْ يَذْ بَحْ فَليَذْبَحْ بِاسْمِ اللّهِ “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat pada hari Nahar (‘Ied Al-Adha), kemudian berkhutbah lalu menyembelih kurbannya dan bersabda : “Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat, maka sembelihlah yang lain sebagai penggantinya. Dan barangsiapa yang belum menyembelih maka sembelihlah dengan nama Allah” [Muttafaq Alaih] 3. Hadits Anas bin Malik, beliau berkata : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الًّصَلاَةِ فَلْيُعِدْ “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Barangsiapa yang telah menyembelih sebelum shalat, maka ulangi lagi” [Muttafaq Alaih] 4. Hadits Jabir bin Abdillah, beliau berkata : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami shalat di hari Nahar (Iedul Adha) di Madinah. Lalu beberapa orang maju dan menyembelih (sembelihannya) dalam keadaan menyangka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyembelih. Lalu Nabi memerintahkan orang yang menyembelih sebelum Beliau untuk mengulangi sembelihan yang lainnya, dan jangan menyembelih sampai Nabi menyembelih”[9] Hadits-hadits ini jelas menunjukkan kewajiban kurban. Sebab pada hadits-hadits tersebut terdapat dua hal yang menunjukkan wajib. Pertama : kata perintah, dan Kedua : perintah mengulangi. Tentunya, sesuatu yang bukan wajib, tidak diperintahkan untuk mengulanginya. Ketiga hadits diatas dikomentari Ibnu Hajar dengan pernyataannya : “Orang yang mewajibkan kurban berdalil dengan adanya perintah mengulangi penyembelihan. Maka hal ini dibantah dengan menyatakan, bahwa yang dimaksud adalah penjelasan syarat penyembelihan kurban yang disyariatkan. Ini seperti pernyataan orang yang shalat sunnah Dhuha sebelum matahari terbit. Jika matahri sudah terbit, maka ulangi shalat kamu”[10] 5. Hadits Abu Hurairah, beliau berkata : قَالَ رَسُولُ اللّه صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقرَبَنَّ مُصَلاَّنَا “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang memiliki kemampuan (keluasan rizki) dan tidak menyembelih maka jangan dekati tampat shalat kami”[11] Hadits ini jelas menunjukkan ancaman kepada orang yang memiliki kemampuan dan enggan menyembelih kurban. Tentunya, Rasulullah tidak akan berbuat demikian, kecuali menunjukkan bahwa itu hukumnya wajib. Pendapat yang tidak mewajibkan menyatakan, bahwa hadits ini mauquf, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah dalam perkara ini. Hal ini dijawab oleh Syaikh Al-Albani dalam pernyataan beliau : “Hadits ini diriwayatkan secara mauquf oleh Ibnu Wahab. Namun ziyadah tsiqah ini diterima. Abu Abdurahman Al- Muqri sebagai sangat tsiqah (kredibel)”[12] Kemudian, pendapat yang tidak mewajibkan menjawab, anggap saja haditsnya hasan, namun juga tidak tegas dalam menunjukkan kewajibannya, sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar : “Yang menjadi dasar yang kuat, yang dipegangi oleh pendapat yang mewajibkan, ialah hadits Abu Hurairah ini. Namun diperselisihkan apakah marfu atau mauquf? Mauquf lebih dekat kepada kebenaran, sebagaimana pendapat Ath-Thahawi dan selainnya. Walaupun marfu’, hadits ini juga tidak tegas dalam menunjukkan wajibnya”[13] 6. Hadits Mikhnaf bin Sulaim, ia berkata : نَحْنُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ وَاقِفٌ بِعَرَفَاتٍ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّا سُ إِنَّ عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ أَضْحِيَةً وَعَتِيرَةً قَالَ تَدْرُونَ مَاالْعَتِيرَةُ؟ هَذِهِ الَّتِي يَقُولُ النَّا سُ الرَّجَبِيَّةُ “Kami bersama Rasulullah dan Beliau wukuf di arafah, lalu berkata, “Wahai, manusia. Sesungguhnya wajib bagi setiap keluarga pada setiap tahunnya kurban dan ‘atirah”. Beliau berkata, “Tahukah kalian, apakah ‘atirah itu? Yaitu yang dikatakan orang rajabiyah”[14] Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : “Demikian juga orang yang mewajibakan berhujjah dengan hadits Mikhnaf bin Sulaim ini yang diriwayatkan Ahmad dan imam yang empat dengan sanad yang kuat, namun tidak ada hujjah disana, karena shighahnya (katanya) tidak tegas menunjukkan wajib secara muthlak, dan juga disebutkan bersamanya ‘al-athirah’ yang tidak dianggap wajib oleh orang yang berpendapat wajibnya kurban”[15]

Dalil Pendapat Kedua 1. Hadits Ummu Salamah, beliau berkata : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا دَخَلَتْ الْعَثْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَخِّيَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ ثَعَرِهِ وَبَثَرِهِ ثَيْئًا “Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika masuk sepuluh hari pertama Dzulhijjah dan salah seorang dari kalian ingin menyembelih kurban, maka jangan memotong sedikitpun dari rambut dan kukunya”[16] Imam Syafi’i berkata : “Ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa kurban tidak wajib, dengan dasar sabda Nabi (وَأَرَادَ ). Beliau menyerahkan kepada kehendak. Seandainya memang wajib, tentunya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan “maka janganlah memotong rambutnya sampai menyembelih”[17] Pendapat yang mewajibkan, membantah dalil ini dengan menyatakan : Hadits ini bukan berarti menunjukkan tidak wajibnya kurban secara muthlak, karena kami mewajibkan dengan syarat mampu. Demikian juga hadts ini dapat dipahami dengan makna orang yang ingin menyembelih dengan sebab memiliki kemampuan, maka jangan mengambil (memotong) rambut dan kukunya sampai menyembelih, dengan dalil riwayat lain yang diriwayatkan Imam Muslim yang tidak menyebutkan kata (وَأَرَادَ), yaitu sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. مَنْ كَانَ لَهُ ذَبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أُهِلَّ هِلاَلَ ذِيْ الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْ خُذَنَّ مِنْ ثَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَاره ثَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ “Barangsiapa yang memiliki sembelihan yang akan disembelih dan tampak hilal Dzulhijjah, maka jangan memotong sedikitpun rambut dan kukunya sampai menyembelih”[18] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Orang yang tidak mewajibkan, tidak memiliki nash dalam hal ini. Mereka menyatakan, kewajiban tidak disandarkan kepada kehendak (iradah). Demikian ini adalah pernyataan global, karena memang kewajiban tidak diserahkan kepada kehendak hamba, sehingga dikatakan jika kamu mau, berbuatlah. Namun, terkadang kewajiban disandarkan kepada syarat untuk menjelaskan hukumnya, seperti firman Allah Azza wa Jalla. إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَة فَاغْسلُوا “Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah” [Al-Maidah/5:6] Dan mereka mengartikannya. Jika kalian ingin melaksanakan dan memaknakan. Jika ingin membaca Al-Qur’an, maka berta’awudz. Padahal thaharah, merupakan wajib, dan membaca Al-Qur’an dalam shalat wajib juga” [19] 2. Hadits Jabir Radhiyallahu anhu, beliau berkata : ثَهِدْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اْلأَضْحَى بِالْمُصَلَّى فَلَمَا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ عَنْ مِنْبَرِهِ فَأُتِيَ بِكَبْثرٍ فَذَبَحَهُ رَسُو لُ اللّه صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ وَقَالَ بِسْمِ اللّهِ وَاللّه أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي وَعمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي “Aku menyaksikan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Ied Al-Adha di Mushalla (tanah lapang). Ketika selesai khutbahnya. Beliau turun dari mimbarnya, lalu dibawakan seekor kambing dan Rasulullah menyembelihnya dengan tangannya langsung, dan berkata : “Bismillah wa Allahu Akbar hadza anni wa amman lam yudhahi min ummati (Bismillah Allahu Akbar, ini dariku dan dari umatku yang belum menyembelih)”[20] Mereka menyatakan : “Seandainya kurban diwajibkan, tentunya orang yang meninggalkannya berhak dihukum dan tidak bisa dianggap cukup. Lalu bagaimana dengan sembelihan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut ? Sehingga sabda beliau. (هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي) Yang disampaikan secara mutlak tanpa perincian ini merupakan dalil tidak wajibnya kurban. Asy-Syaukani berkata : “Sisi pendalilan hadits ini dan yang semakna dengannya atas tidak wajibnya kurban ialah, secara dhahir menunjukkan bahwa kurban Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi umatnya dan keluarganya, mencukupkan orang yang tidak menyembelih kurban, baik mampu atau tidak mampu. Hal ini mungkin dijawab, bahwa hadits : إِنَّ عَلَ كُلِّ أَهْلِ بَيْتِ فِي كُلِّ عَامِ أضْحِيَةَ مَا Yang menunjukkan kewajiban menyembelih kurban bagi ahli bait yang mampu, menjadi indikator bahwa kurban Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam tersebut untuk orang yang tidak mampu saja. Seandainya benar yang disampaikan Al-Mudda’i (pendapat yang tidak mewajibkan,-pent), maka tidak dapat menjadi dalil tidak wajibnya kurban. Karena, titik perselisihannya adalah pada orang yang menyembelih untuk dirinya sendiri, dan bukan orang yang disembelihkan orang lain. Sehingga tidak wajibnya pada orang yang ada pada zaman Beliau dari umat ini, mengharuskan tidak wajibnya pada orang yang berada di luar zaman Beliau”[21] 3. Atsar Abu Bakr dan Umar, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Sarihah Al-Ghifari, beliau berkata. مَا أَدْرَكْتُ أَبَا بَكرِ أَوْ رَأَيْتُ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ كَانَا لاَ يُضَحِّيَانِ-فِي بَعْضِ حَديْثِهِمْ- كَرَاهِيَّةَ أَنْ يُقْتَدَى بِهِمَا “Aku mendapati Abu Bakar atau melihat Abu Bakr dan Umar tidak menyembelih kurban –dalam sebagian hadits mereka- khawatir dijadikan panutan”[22] Seandainya kurban diwajibkan, tentu keduanya orang yang pantas mengamalkannya. Akan tetapi, keduanya memahami hukum kurban tersebut tidak wajib.

Pendapat Yang Rajih

Syaikh Muhammad Al-Amin Al-Syinqithi berkata : “Saya telah meneliti dalil-dalil sunnah pendapat yang mewajibkan dan yang tidak mewajibkan, dan keadaannya dalam pandangan kami. Bahwa tidak ada satupun dalil dari kedua pendapat tersebut yang tegas, pasti dan selamat dari bantahan, baik yang menunjukkan wajib maupun yang tidak wajib”. Kemudian Syaikh berkata : “Yang rajih bagi saya dalam perkara seperti ini, yang tidak jelas penunjukkan nash-nash kepada satu hal tertentu dengan tegas dan jelas adalah berusaha sekuat mungkin keluar dari khilaf. Sehingga, berkurban bila mampu, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tinggalkanlah yang ragu kepada yang tidak ragu. “. Sepatutnya, seseorang tidak meninggalkanya bila mampu, karena menunaikannya itu sudah pasti menghilangkan tanggung jawabnya, Wallahu a’lam”[23] Yang rajih –wallahu a’lam– dalam permasalahan ini, yaitu pendapat jumhur ulama. Karena seandainya tidak ada satu pun dalil dari hadits Nabi Shallallahu ‘alaiahi wa sallam yang secara pasti menunjukkan rajihnya salah satu pendapat tersebut, namun amalan Abu Bakr dan Umar dapat dijadikan faktor yang dapat merajihkan pendapat jumhur. Sebab hal ini merupakan pengamalan perintah Rasulullah dalam hadits Irbadh bin Sariyah yang berbunyi. فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسَنَّةِ ا لْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ “Sungguh, barangsiapa diantara kalian yang hidup sesudahku, maka akan mendapati perselisihan yang banyak. Maka wajib baginya untuk memegangi sunnahku dan sunnah Khulafa Ar-Rasyidin”. Keduanya termasuk dari Khulafa Ar-Rasyidin menurut kesepakatan kaum muslimin. Hal ini juga dikuatkan dengan hadits lainnya yang diriwayatkan Imam Muslim dengan lafadz : فَإِنْ يُطِيعُوا أَبَا بَكْرٍ وَ عُمَرَ يَرْشُدُوا “Karena jika mereka mengikuti Abu Bakr dan Umar, niscaya mendapati petunjuk”. Juga adanya riwayat atsar dari Ibnu Umar, Abu Mas’ud Al-Anshari dan Ibnu Abbas yang menunjukkan tidak wajibnya kurban. Wallahu a’lam.

SYARAT-SYARAT HEWAN KURBAN

Kurban memiliki beberapa syarat yang tidak sah kecuali jika telah memenuhinya, yaitu. 1. Hewan kurbannya berupa binatang ternak, yaitu unta, sapi dan kambing, baik domba atau kambing biasa. 2. Telah sampai usia yang dituntut syari’at berupa jaza’ah (berusia setengah tahun) dari domba atau tsaniyyah (berusia setahun penuh) dari yang lainnya. a. Ats-Tsaniy dari unta adalah yang telah sempurna berusia lima tahun b. Ats-Tsaniy dari sapi adalah yang telah sempurna berusia dua tahun c. Ats-Tsaniy dari kambing adalah yang telah sempurna berusia setahun d. Al-Jadza’ adalah yang telah sempurna berusia enam bulan 3. Bebas dari aib (cacat) yang mencegah keabsahannya, yaitu apa yang telah dijelaskan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. a. Buta sebelah yang jelas/tampak b. Sakit yang jelas. c. Pincang yang jelas d. Sangat kurus, tidak mempunyai sumsum tulang Dan hal yang serupa atau lebih dari yang disebutkan di atas dimasukkan ke dalam aib-aib (cacat) ini, sehingga tidak sah berkurban dengannya, seperti buta kedua matanya, kedua tangan dan kakinya putus, ataupun lumpuh. 4. Hewan kurban tersebut milik orang yang berkurban atau diperbolehkan (di izinkan) baginya untuk berkurban dengannya. Maka tidak sah berkurban dengan hewan hasil merampok dan mencuri, atau hewan tersebut milik dua orang yang beserikat kecuali dengan izin teman serikatnya tersebut. 5. Tidak ada hubungan dengan hak orang lain. Maka tidak sah berkurban dengan hewan gadai dan hewan warisan sebelum warisannya di bagi. 6. Penyembelihan kurbannya harus terjadi pada waktu yang telah ditentukan syariat. Maka jika disembelih sebelum atau sesudah waktu tersebut, maka sembelihan kurbannya tidak sah.

[1] HEWAN KURBAN YANG UTAMA DAN YANG DIMAKRUHKAN Yang paling utama dari hewan kurban menurut jenisnya adalah unta, lalu sapi. Jika penyembelihannya dengan sempurna, kemudian domba, kemudian kambing biasa, kemudian sepertujuh unta, kemudian sepertujuh sapi. Yang paling utama menurut sifatnya adalah hewan yang memenuhi sifat-sifat sempurna dan bagus dalam binatang ternak. Hal ini sudah dikenal oleh ahli yang berpengalaman dalam bidang ini. Di antaranya. a. Gemuk b. Dagingnya banyak c. Bentuk fisiknya sempurna d. Bentuknya bagus e. Harganya mahal Sedangkan yang dimakruhkan dari hewan kurban adalah. 1. Telinga dan ekornya putus atau telinganya sobek, memanjang atau melebar. 2. Pantat dan ambing susunya putus atau sebagian dari keduanya seperti –misalnya putting susunya terputus- 3. Gila 4. Kehilangan gigi (ompong) 5. Tidak bertanduk dan tanduknya patah Ahli fiqih Rahimahullah juga telah memakruhkan Al-Adbhaa’ (hewan yang hilang lebih dari separuh telinga atau tanduknya), Al-Muqaabalah (putus ujung telinganya), Al-Mudaabirah (putus dari bagian belakang telinga), Asy-Syarqa’ (telinganya sobek oleh besi pembuat tanda pada binatang), Al-Kharqaa (sobek telinganya), Al-Bahqaa (sebelah matanya tidak melihat), Al-Batraa (yang tidak memiliki ekor), Al-Musyayya’ah (yang lemah) dan Al-Mushfarah [2]

[3] DAGING KURBAN YANG DIMAKAN, DIHADIAHKAN DAN DISHADAQAHKAN Disunnahkan bagi orang yang berkurban untuk memakan sebagian hewan kurbannya, menghadiahkannya dan bershadaqah dengannya. Hal ini adalah masalah yang lapang/longgar dari sisi ukurannya. Namun yang terbaik menurut kebanyakan ulama adalah memakan sepertiganya, menghadiahkan sepertiganya dan bershadaqah sepertiganya. Tidak ada perbedaan dalam kebolehan memakan dan menghadiahkan sebagian daging kurban antara kurban yang sunnah dan kurban yang wajib, dan juga tidak ada perbedaan antara kurban untuk orang hidup, orang yang wafat atau wasiat. Diharamkan menjual bagian dari hewan kurban baik dagingnya, kulitnya atau bulunya dan tidak boleh juga memberi sebagian dari hewan kurban tersebut kepada jagalnya sebagai upah penyembelihan, karena hal itu bermakna jual beli.[4] Ibnu Hazm Rahimahullah berpendapat lebih jauh dari itu, sampai ia menetapkan kewajiban memakan sebagian hewan kurbannya, ia mengatakan, “Diwajibkan atas setiap orang yang berkurban untuk memakan sebagian hewan kurbannya dan itu harus dilakukan walaupun hanya sesuap atau lebih. Juga diwajibkan bershadaqah darinya dengan sesukanya, baik sedikit atau pun banyak dan itu harus, dan dimubahkan memberi makan kepada orang kaya dan kafir dan menghadiahkan sebagiannya jika ia berkeinginan untuk itu.” [5] [Disalin dari kitab Ahkaamul Iidain wa Asyri Dzil Hijjah, Edisi Indonesia Lebaran Menurut Sunnah Yang Shahih, Penulis Dr Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar, Penerjemah Kholid Syamhudi Lc, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir] _______